Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Polri Setelah Kasus Teddy Minahasa, Banyak Hal Harus Dibenahi...

Kompas.com - 12/05/2023, 09:05 WIB
Tria Sutrisna,
Zintan Prihatini,
Nursita Sari

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Inspektur Jenderal Teddy Minahasa divonis bersalah dalam kasus peredaran narkoba oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat.

Dalam sidang putusan pada Selasa (9/5/2023), Teddy dinyatakan melanggar Pasal 114 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, juncto Pasal 55 Ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Mantan Kapolda Sumatera Barat itu dijatuhi hukuman penjara seumur hidup atas perbuatannya mengedarkan sabu lebih dari lima kilogram.

Hukuman itu masih dianggap layak diterima oleh Teddy, kendati lebih ringan dari tuntutan hukuman mati dari jaksa penuntut umum (JPU).

Teddy harus dipecat

Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) menilai, tindakan Teddy yang merekayasa pemusnahan barang bukti sabu lalu mengedarkannya kembali sangatlah berbahaya.

Komisioner Kompolnas Poengky Indarti berujar, Teddy sebagai Kapolda seharusnya menjadi contoh teladan untuk anak buahnya.

Namun, sebaliknya, Teddy justru menjadi contoh buruk bagi para anggota Polri.

"Apa yang dilakukan yang bersangkutan sangat berbahaya. Rekayasa barang bukti kejahatan narkoba yang dilakukan berpotensi membunuh jutaan generasi muda," kata Poengky saat dihubungi Kompas.com.

Baca juga: Berkaca pada Kasus Teddy Minahasa, Polri Harus Perketat Pengawasan Barang Bukti Narkoba

 

Atas dasar itu, Kompolnas mendesak Mabes Polri segera menggelar sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) terhadap Teddy dan memecatnya.

Menurut Poengky, tidak ada lagi alasan untuk menunda sidang KKEP atas pelanggaran berat yang dilakukan Teddy.

Sebab, Teddy sudah diproses secara hukum pidana dan divonis bersalah di pengadilan umum.

"Yang bersangkutan diproses pidana hingga sudah ada vonis pengadilan, sudah cukup menjadi dasar dilaksanakannya sidang kode etik. Apa yang dilakukan adalah pelanggaran Kode Etik Profesi Polri," kata Poengky.

"Kompolnas juga mendorong sanksi etik maksimum untuk dapat dijatuhkan kepada yang bersangkutan, yaitu pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH)," sambung dia.

Benahi pengawasan barang bukti

Berkaca dari kasus Teddy, pembenahan aturan pengawasan terhadap barang bukti narkoba di kepolisian kian mendesak.

Hal ini untuk mencegah penggelapan dan penyalahgunaan barang bukti narkoba kembali terulang.

"Saya mengamati di Polri pelaksanaan aturan tersebut banyak yang menyimpang dari ketentuan," ujar Ketua Harian Kompolnas Benny Mamoto kepada Kompas.com.

Benny menjelaskan, aturan penanganan barang bukti narkoba sudah jelas diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 dan Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN).

Namun, dia mengakui, masih terjadi penyimpangan aturan berkait barang bukti narkoba, sampai akhirnya bisa digelapkan dan diedarkan kembali oleh anggota polisi itu sendiri.

"Sebagai contoh, pemusnahan dilakukan setelah barang bukti dikumpulkan selama satu tahun atau hasil operasi beberapa bulan. Hal ini sesungguhnya sudah melanggar ketentuan," kata Benny.

Baca juga: Saat Kompolnas Sebut Sosok Teddy Minahasa Sangat Berbahaya dan Harus Segera Dipecat dari Polri

Benny mendorong Polri meningkatkan pengawasan internal terhadap barang bukti narkoba dan penyidik yang menangani perkaranya.

Sementara itu, pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto menyampaikan, kasus Teddy Minahasa menjadi contoh nyata perlunya pembaruan aturan penyimpanan barang bukti narkoba.

"Iya, benar (perlu ada revisi aturan), itu terkait dengan tata kelola pemberantasan narkoba," ungkap Bambang.

Selama ini, kata Bambang, ada dua lembaga yang mengatur tata kelola kasus narkoba, yakni BNN dan Direktorat Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri.

Bambang menyarankan, barang bukti narkoba tidak dipegang penyidik polisi dan tidak disimpan Satuan Tahanan dan Barang Bukti (Tahti) kepolisian, melainkan diserahkan ke BNN.

"BNN sendiri itu kan harus ada tempat penyimpanan barang bukti yang bisa dipertanggungjawabkan, yang aman, yang tidak disimpan oleh penyidik Polri sendiri, yang akhirnya bisa dimainkan seperti yang terjadi saat ini," tutur Bambang.

Baca juga: Potret Kultur Siap Jenderal pada Kasus Teddy Minahasa Bikin Polisi Lebih Taat Atasan daripada Aturan

Bambang menilai, sudah seyogianya barang bukti narkoba diserahkan kepada lembaga lain yang memiliki fungsi pengawasan, termasuk BNN.

Jadi, apabila terjadi penyelewengan, polisi dapat memperkarakan pihak lembaga yang melakukannya.

"Kalau ingin serius melakukan pembenahan terkait pemberantasan narkoba, ini tidak sekadar mengevaluasi kepolisian, tapi juga terkait dengan tata kelola pemberantasan itu," ucap Bambang.

Profesionalisme anggota harus di atas relasi senior-junior

Mantan Kapolda Sumatera Barat Irjen Teddy Minahasa usai menjalani sidang vonis di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Senin (9/5/2023). Majelis hakim menjatuhkan vonis hukuman penjara seumur hidup dalam kasus peredaran narkotika jenis sabu yang menjeratnya.KOMPAS.com/KRISTIANTO PURNOMO Mantan Kapolda Sumatera Barat Irjen Teddy Minahasa usai menjalani sidang vonis di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Senin (9/5/2023). Majelis hakim menjatuhkan vonis hukuman penjara seumur hidup dalam kasus peredaran narkotika jenis sabu yang menjeratnya.
Di samping penegakan aturan, faktor profesionalisme dan idealisme anggota kepolisian juga memegang peran penting untuk mencegah penyalahgunaan barang bukti.

Dalam kasus Teddy Minahasa, tak bisa dipungkiri bahwa ada relasi antara senior-junior atau atasan-bawahan.

Alhasil, anak buah Teddy, misalnya AKBP Dody Prawiranegara dan polisi lain di bawahnya, ikut terlibat bahkan membantu peredaran narkoba.

"Iya, memang fakta itu yang terjadi. Terkait dengan kultur yang militeristik, taat pada atasan, 'siap jenderal', itu kan masih melekat di kepolisian," ujar Bambang.

Baca juga: Belajar dari Kasus Teddy Minahasa, Pengamat Sebut Aturan Penyimpanan Barang Bukti Narkoba Perlu Direvisi

Kondisi ini dipengaruhi adanya kecenderungan bawahan atau junior segan menolak perintah atasan. Budaya ini telah terbentuk sejak lama, bahkan sudah dipupuk ketika anggota mengenyam pendidikan di akademi.

Kedekatan antara senior dengan junior, kata Bambang, juga kerap menentukan apakah seorang anggota kepolisian dapat dipromosikan untuk naik jabatan.

"Karena sering kali promosi-promosi jabatan relatif hanya berdasarkan kedekatan. Kedekatan tidak melalui merit sistem yang mengedepankan kompetensi, kualitas," papar Bambang.

"Makanya dalam kesaksian Teddy Minahasa, pernah juga terungkap bahwa penjualan sabu itu untuk promosi AKBP Dody. Seperti itu kan untuk membiayai," lanjut dia.

Baca juga: Kasus Teddy Minahasa dan Kultur Senior-Junior di Polri yang Sulit Hilang...

Hal senada disampaikan Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso.

Menurut Sugeng, junior atau bawahan cenderung acapkali tak berani menolak perintah senior karena khawatir tersingkirkan.

Situasi ini bahkan membuat para junior atau bawahan menyampingkan kesadaran bahwa perintah yang diberikan merupakan pelanggaran, bahkan tindak pidana.

"Kalau tidak mau mengikuti aturan main dari pimpinannya atau seniornya biasanya akan tersingkir, tidak akan mendapatkan suatu penugasan, tidak akan mendapatkan promosi," tutur Sugeng.

Menurut Sugeng, budaya relasi tersebut tidak dapat dihilangkan dari tubuh Polri, selama tak ada sikap independensi dan profesionalisme dari setiap anggota.

Padahal, Peraturan Kepala Kepolisian RI Nomor 7 Tahun 2022 secara tegas menerangkan bahwa perintah dari atasan, yang dinilai melanggar hukum, wajib ditolak.

"Jadi memang kembali kepada sikap independensi maupun profesionalisme dari bawahan," kata Sugeng.

Baca juga: Vonis Penjara Seumur Hidup bagi Teddy Minahasa dan Senyum Sang Jenderal...

Bambang menambahkan, kultur relasi senior-junior juga sulit dihilangkan dari tubuh Polri jika pembenahan hanya dibebankan kepada Kapolri.

Oleh sebab itu, Bambang menilai, perlu adanya political will atau kemauan politik dari pemerintah.

"Negara harus turun tangan untuk membenahi Polri," imbuh Bambang.

Bambang lalu berpendapat, pemerintah bisa mengambil opsi untuk merevisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

"Kalau tidak ada revisi, kondisinya akan seperti ini terus. Secara mendasar, kan aturan yang mendasar itu apa? Undang-Undang Kepolisian itu sendiri," terang Bambang.

Kasus Teddy dan Dody

Sebagai informasi, Teddy dan Dody saling lempar tuduhan dalam pusaran kasus narkoba yang menjerat keduanya.

Teddy menyatakan tidak terlibat dalam kasus peredaran narkoba, sedangkan Dody mengaku menyisihkan barang bukti sabu untuk dijual atas perintah Teddy.

Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat kemudian memvonis keduanya terbukti melakukan tindak pidana.

Terdakwa melanggar Pasal 114 Ayat ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.

Majelis hakim memvonis Teddy dengan hukuman penjara seumur hidup, sedangkan Dody divonis 17 tahun penjara dengan denda Rp 2 miliar.

Baca juga: Kasus Narkoba Teddy Minahasa, Pengamat: Kontrol dan Pengawasan Polri Sangat Lemah

Jaksa penuntut umum (JPU) dalam dakwaannya menyatakan, Teddy terbukti bekerja sama dengan AKBP Dody Prawiranegara, Syamsul Maarif, dan Linda Pujiastuti (Anita) untuk menawarkan, membeli, menjual, dan menjadi perantara penyebaran narkotika.

Narkotika yang dijual itu merupakan hasil penyelundupan barang sitaan seberat lebih dari 5 kilogram.

Dalam persidangan terungkap bahwa Teddy meminta AKBP Dody mengambil sabu itu lalu menggantinya dengan tawas.

Awalnya, Dody sempat menolak. Namun, pada akhirnya Dody menyanggupi permintaan Teddy.

Dody kemudian memberikan sabu tersebut kepada Linda. Setelah itu, Linda menyerahkan sabu tersebut kepada Kompol Kasranto untuk kemudian dijual kepada bandar narkoba.

Total, ada 11 orang yang diduga terlibat dalam peredaran narkoba ini, termasuk Teddy Minahasa.

Sementara itu, 10 orang lainnya adalah Hendra, Aril Firmansyah, Aipda Achmad Darmawan, Mai Siska, Kompol Kasranto, Aiptu Janto Situmorang, Linda Pujiastuti, Syamsul Ma'arif, Muhamad Nasir, dan AKBP Dody Prawiranegara.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Perjuangkan Peningkatan Upah Buruh, Lia dan Teman-temannya Rela ke Jakarta dari Cimahi

Perjuangkan Peningkatan Upah Buruh, Lia dan Teman-temannya Rela ke Jakarta dari Cimahi

Megapolitan
Cerita Suratno, Buruh yang Khawatir Uang Pensiunnya Berkurang karena UU Cipta Kerja

Cerita Suratno, Buruh yang Khawatir Uang Pensiunnya Berkurang karena UU Cipta Kerja

Megapolitan
Pembunuh Perempuan Dalam Koper Tak Melawan Saat Ditangkap Polisi di Palembang

Pembunuh Perempuan Dalam Koper Tak Melawan Saat Ditangkap Polisi di Palembang

Megapolitan
Said Iqbal Minta Prabowo Hapus UU Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan

Said Iqbal Minta Prabowo Hapus UU Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan

Megapolitan
Pembunuh Wanita Dalam Koper Sempat Ajak Korban Masuk ke Kamar Hotel di Bandung

Pembunuh Wanita Dalam Koper Sempat Ajak Korban Masuk ke Kamar Hotel di Bandung

Megapolitan
Said Iqbal: Upah Buruh di Jakarta yang Ideal Rp 7 Juta Per Bulan

Said Iqbal: Upah Buruh di Jakarta yang Ideal Rp 7 Juta Per Bulan

Megapolitan
Ikut Demo May Day 2024, Buruh Wanita Rela Panas-panasan demi Memperjuangkan Upah yang Layak

Ikut Demo May Day 2024, Buruh Wanita Rela Panas-panasan demi Memperjuangkan Upah yang Layak

Megapolitan
Dua Orang Terluka Imbas Kecelakaan di Tol Jakarta-Cikampek

Dua Orang Terluka Imbas Kecelakaan di Tol Jakarta-Cikampek

Megapolitan
Korban Kedua yang Tenggelam di Sungai Ciliwung Ditemukan Tewas 1,2 Kilometer dari Lokasi Kejadian

Korban Kedua yang Tenggelam di Sungai Ciliwung Ditemukan Tewas 1,2 Kilometer dari Lokasi Kejadian

Megapolitan
Rayakan 'May Day Fiesta', Massa Buruh Mulai Padati Stadion Madya GBK

Rayakan "May Day Fiesta", Massa Buruh Mulai Padati Stadion Madya GBK

Megapolitan
Fahira Idris: Gerakan Buruh Terdepan dalam Perjuangkan Isu Lintas Sektoral

Fahira Idris: Gerakan Buruh Terdepan dalam Perjuangkan Isu Lintas Sektoral

Megapolitan
Polisi Tangkap Pembunuh Wanita Dalam Koper di Bekasi

Polisi Tangkap Pembunuh Wanita Dalam Koper di Bekasi

Megapolitan
Hadiri 'May Day Fiesta', Massa Buruh Mulai Bergerak Menuju GBK

Hadiri "May Day Fiesta", Massa Buruh Mulai Bergerak Menuju GBK

Megapolitan
Pakai Caping Saat Aksi 'May Day', Pedemo: Buruh seperti Petani, Semua Pasti Butuh Kami...

Pakai Caping Saat Aksi "May Day", Pedemo: Buruh seperti Petani, Semua Pasti Butuh Kami...

Megapolitan
Penyebab Mobil Terbakar di Tol Japek: Pecah Ban lalu Ditabrak Pikap

Penyebab Mobil Terbakar di Tol Japek: Pecah Ban lalu Ditabrak Pikap

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com