Pada Selasa (6/6/2023) ini, indeks kualitas udara Jakarta mencapai 156 pada pukul 08.00 WIB atau dalam kategori tidak sehat.
Cemaran konsentrasi partikulat matter (PM) 2,5 di Jakarta juga tercatat 64,4 mikrogram per meter kubik (µgram/m3). Angka ini 12,8 kali lebih tinggi dari ambang batas aman yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Atas buruknya kualitas udara ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tengah mengupayakan penegakan aturan dan sanksi mengenai uji emisi kendaraan untuk memperbaiki kondisi saat ini.
Dokter Spesialis Anak, dr. Satrio Bhuwono Prakoso M.Ked (Ped) Sp.A memaparkan sejumlah dampak bila anak terus-menerus terpapar polutan yang tinggi.
Menurut dia, saat kualitas udara buruk, anak rawan terkena infeksi saluran napas atas, termasuk batuk pilek yang diikuti demam. Anak bisa pula mengalami pembesaran amandel, bronkopneumonia atau infeksi paru-paru, dan asma.
Baca juga: Ramai-ramai Ikut Uji Emisi Kendaraan demi Kualitas Udara Jakarta Lebih Baik
"Anak usia di bawah dua tahun bisa mengalami bronkiolitis, biasanya ada sesak napas yang diikuti demam dan bunyi seperti asma," terang Satrio kepada Kompas.com, Jumat (2/6/2023).
Gangguan ini, kata dia, terjadi akibat polutan udara yang terhirup masuk ke saluran pernapasan anak. Di antaranya polutan PM 2.5 atau polutan yang berukuran 2,5 mikrometer.
"Enggak hanya PM 2.5, polutan udara lain, termasuk PM 10, N02, dan S02 juga bisa meningkatkan mediator radang, menurunkan respons imun, sehingga virus dan bakteri lebih mudah menginfeksi saluran napas serta menimbulkan peradangan," terang dia.
Untuk itu, Satrio mengimbau agar para orangtua ikut memantau aktivitas anak, terutama bila anak memiliki aktivitas padat di luar ruangan.
Selain itu, sebaiknya hindari anak terkena hujan karena banyak partikel polusi jatuh bersamaan dengan air hujan. "Pemantauan aplikasi polusi udara berkala juga direkomendasikan," tutup dia.
Baca juga: Jungkir Balik Tangani Buruknya Kualitas Udara di Jakarta
Dokter spesialis paru Prof. Dr. dr. Agus Dwi Susanto, SpP(K) menjelaskan, jika menghirup partikel PM 2.5 dalam jumlah banyak, seseorang bisa mengalami peradangan kronik pada sistem vaskular (pembuluh darah) tubuh.
"Bisa meningkatkan risiko penyakit jantung sampai stroke, karena polutan yang ukurannya sangat halus itu masuk dalam darah, terdistribusi di tubuh, dan berisiko meningkatkan penyempitan pembuluh darah pada jantung," ujar dia, Jumat.
Tak hanya itu, PM 2.5 juga bersifat karsinogen atau dapat memicu kanker. Agus menerangkan, dalam PM 2.5 ada partikel yang menyebabkan terjadinya kanker.
Sebuah data di Inggris, kata dia, menunjukkan bahwa orang yang terpapar polusi tinggi secara terus-menerus selama bertahun-tahun menyebabkan risiko kanker.
Baca juga: Dokter Imbau Masyarakat Pakai Masker di Tengah Buruknya Kualitas Udara Jakarta
"Itu datanya 4-5 persen dari penderita kanker paru itu karena polusi dan polusinya karena PM 2.5," kata Agus.
Sementara itu, berdasarkan data penelitian di Rumah Sakit Persahabatan dan Rumah Sakit Kanker Dharmais 2013, empat persen dari 300 penderita kanker itu disebabkan polutan.
(Penulis : Wasti Samaria Simangunsong, Joy Andre | Editor : Nursita Sari, Ihsanuddin, Ambaranie Nadia Kemala Movanita)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.