JAKARTA, KOMPAS.com - Kondisi udara Jakarta yang memburuk akhir-akhir ini telah berdampak pada kesehatan masyarakat, tak terkecuali anak-anak.
Wilsa Situmorang menjadi salah satu orangtua yang merasakan langsung dampak buruknya kualitas udara di Ibu Kota. Putrinya yang baru berusia 14 bulan terkena penyakit batuk dan pilek, bahkan mengalami gejala sesak napas.
"Sakitnya itu dari hari Senin pekan lalu," kata Wilsa saat dihubungi Kompas.com, Senin (5/6/2023).
Baca juga: Data IQAir: Kualitas Udara di Jakarta Pagi Ini Terburuk di Dunia
Yuni, seorang warga Kota Bekasi, mengeluhkan hal serupa. Kedua cucunya mengalami batuk pilek dan tak kunjung sembuh dalam sebulan terakhir.
Yuni meyakini bahwa kedua cucunya itu sakit karena kualitas udara yang buruk. Yuni yakin betul karena ia sudah berpengalaman sebagai orangtua.
"Makanya orangtuanya juga, termasuk saya, neneknya, menyarankan mereka banyak minum, tapi bukan minum es. Karena ketika banyak minum itu, lumayan berkurang sakitnya," kata Yuni.
"Berarti kan tenggorokannya itu kering. Karena kalau kering, ini mereka sensitif, akhirnya iritasi tenggorokannya," ucap dia lagi.
Wilsa sempat mengira penyakit yang diderita bayinya itu berasal dari makanan. Khawatir akan penyakit yang diderita, Wilsa kemudian membawa putrinya ke dokter.
Warga Cakung itu kurang mengetahui soal kualitas udara yang buruk di Jakarta. Namun, ia menyebut anak dari kerabatnya juga merasakan gejala yang sama, yaitu batuk dan sesak napas.
Dengan kondisi tersebut, Wilsa berniat kembali ke dokter dan mengecek kondisi tubuh putrinya yang belum juga sehat.
Hal serupa dialami oleh Yuni. Wanita asal Kota Bekasi itu menyebut kedua cucunya mengalami batuk.
Baca juga: Jangan Sekadar Uji Emisi Seremonial jika Ingin Serius Perbaiki Kualitas Udara Jakarta
Meski sudah didiagnosis sakit karena makanan, Yuni tidak percaya begitu saja. Salah satu faktor lain yang mendukung kedua cucunya menjadi sakit adalah kualitas udara.
"Tahu (karena dipengaruhi cuaca). Makanya orangtuanya juga, termasuk saya, neneknya, menyarankan mereka banyak minum," ucap Yuni.
Kualitas udara di DKI Jakarta memburuk beberapa hari terakhir ini. Data dari IQAir, indeks kualitas udara di Jakarta tak pernah kurang dari 150 sejak Jumat (19/5/2023).
IQAir mencatat, indeks kualitas udara tertinggi mencapai 159 pada Senin (22/5/2023). Angka itu menunjukkan kualitas udara yang tidak sehat.
Baca juga: Kualitas Udara Jakarta Buruk, Orangtua Keluhkan Anaknya Batuk Sesak Nafas
Pada Selasa (6/6/2023) ini, indeks kualitas udara Jakarta mencapai 156 pada pukul 08.00 WIB atau dalam kategori tidak sehat.
Cemaran konsentrasi partikulat matter (PM) 2,5 di Jakarta juga tercatat 64,4 mikrogram per meter kubik (µgram/m3). Angka ini 12,8 kali lebih tinggi dari ambang batas aman yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Atas buruknya kualitas udara ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tengah mengupayakan penegakan aturan dan sanksi mengenai uji emisi kendaraan untuk memperbaiki kondisi saat ini.
Dokter Spesialis Anak, dr. Satrio Bhuwono Prakoso M.Ked (Ped) Sp.A memaparkan sejumlah dampak bila anak terus-menerus terpapar polutan yang tinggi.
Menurut dia, saat kualitas udara buruk, anak rawan terkena infeksi saluran napas atas, termasuk batuk pilek yang diikuti demam. Anak bisa pula mengalami pembesaran amandel, bronkopneumonia atau infeksi paru-paru, dan asma.
Baca juga: Ramai-ramai Ikut Uji Emisi Kendaraan demi Kualitas Udara Jakarta Lebih Baik
"Anak usia di bawah dua tahun bisa mengalami bronkiolitis, biasanya ada sesak napas yang diikuti demam dan bunyi seperti asma," terang Satrio kepada Kompas.com, Jumat (2/6/2023).
Gangguan ini, kata dia, terjadi akibat polutan udara yang terhirup masuk ke saluran pernapasan anak. Di antaranya polutan PM 2.5 atau polutan yang berukuran 2,5 mikrometer.
"Enggak hanya PM 2.5, polutan udara lain, termasuk PM 10, N02, dan S02 juga bisa meningkatkan mediator radang, menurunkan respons imun, sehingga virus dan bakteri lebih mudah menginfeksi saluran napas serta menimbulkan peradangan," terang dia.
Untuk itu, Satrio mengimbau agar para orangtua ikut memantau aktivitas anak, terutama bila anak memiliki aktivitas padat di luar ruangan.
Selain itu, sebaiknya hindari anak terkena hujan karena banyak partikel polusi jatuh bersamaan dengan air hujan. "Pemantauan aplikasi polusi udara berkala juga direkomendasikan," tutup dia.
Baca juga: Jungkir Balik Tangani Buruknya Kualitas Udara di Jakarta
Dokter spesialis paru Prof. Dr. dr. Agus Dwi Susanto, SpP(K) menjelaskan, jika menghirup partikel PM 2.5 dalam jumlah banyak, seseorang bisa mengalami peradangan kronik pada sistem vaskular (pembuluh darah) tubuh.
"Bisa meningkatkan risiko penyakit jantung sampai stroke, karena polutan yang ukurannya sangat halus itu masuk dalam darah, terdistribusi di tubuh, dan berisiko meningkatkan penyempitan pembuluh darah pada jantung," ujar dia, Jumat.
Tak hanya itu, PM 2.5 juga bersifat karsinogen atau dapat memicu kanker. Agus menerangkan, dalam PM 2.5 ada partikel yang menyebabkan terjadinya kanker.
Sebuah data di Inggris, kata dia, menunjukkan bahwa orang yang terpapar polusi tinggi secara terus-menerus selama bertahun-tahun menyebabkan risiko kanker.
Baca juga: Dokter Imbau Masyarakat Pakai Masker di Tengah Buruknya Kualitas Udara Jakarta
"Itu datanya 4-5 persen dari penderita kanker paru itu karena polusi dan polusinya karena PM 2.5," kata Agus.
Sementara itu, berdasarkan data penelitian di Rumah Sakit Persahabatan dan Rumah Sakit Kanker Dharmais 2013, empat persen dari 300 penderita kanker itu disebabkan polutan.
(Penulis : Wasti Samaria Simangunsong, Joy Andre | Editor : Nursita Sari, Ihsanuddin, Ambaranie Nadia Kemala Movanita)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.