Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ramai-ramai Kritik Penyemprotan Air ke Jalan untuk Kurangi Polusi: dari Tak Ada Manfaat sampai Munculkan Polusi Baru

Kompas.com - 28/08/2023, 16:01 WIB
Abdul Haris Maulana

Editor

JAKARTA, KOMPAS.com - Upaya Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI mengurangi polusi udara dengan menyemprotkan air di sejumlah ruas jalan Ibu Kota mendapat sorotan tajam.

Pasalnya, upaya tersebut dianggap tidak memberikan pengaruh apa pun, bahkan malah memperparah keadaan.

Tidak ada manfaatnya

Pakar Epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKMUI) Pandu Riono mengatakan, menyemprotkan air bertekanan tinggi memicu pembentukan aerolisasi yang justru berdampak pada kesehatan.

Baca juga: Penyemprotan Air ke Jalan untuk Kurangi Polusi Jakarta, Epidemiolog: Tidak Ada Manfaatnya

"Tidak ada manfaatnya, bahkan potensial merugikan," ungkap Pandu saat dihubungi Kompas.com, Senin (28/8/2023).

"Karena cairan dengan tekanan tinggi pada udara polusi, maka polutan akan alami aerolisasi yang memudahkan berdampak pada kita kalau terhirup" lanjut dia.

Menurut Pandu, penanganan polusi di Ibu Kota harus difokuskan pada sumber pencemarannya.

"Agar mengurangi emisi bahan-bahan toksik ke udara," imbuh Pandu.

Pandu menjelaskan, polusi udara yang terhirup oleh manusia dapat memengaruhi kesehatan. Tak hanya sistem pernapasan, melainkan sistem kesehatan lain juga berisiko terdampak.

"Bukan hanya sistem pernapasan tetapi juga sistem jantung dan pembuluh darah, imunitas tubuh, juga kesehatan mental," ujar dia.

Baca juga: Heru Budi Kerahkan 20 Mobil Damkar Semprot Jalan untuk Tekan Polusi

Tidak efektif

Selaras dengan Pandu, Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Budi Haryanto mengatakan, penyemprotan udara dengan air yang dilakukan oleh kendaraan bermotor dan di jalan raya itu tidak efektif.

"Karena kalau kita lihat polutan udara yang menyebabkan polusi itu berada di mana-mana, dari yang berat, yang terlihat partikel debunya sampai tidak terlihat, seperti gas-gas menyebar, ada di mana-mana tidak hanya di jalan raya," kata Budi, dikutip dari video YouTube Harian Kompas, Senin.

Budi mengungkapkan, penyemprotan air yang dilakukan di jalan raya hanya mengikat polutan-polutan yang ukurannya besar di tempat penyemprotan pada saat penyemprotan.

"Karena kalau sumber pencemarnya, yaitu kendaraan-kendaraan bermotor masih ada di mana-mana, dia tetap mengeluarkan polutan udara yang menyebabkan polusi," ucap Budi.

Hanya pindahkan polusi

Baca juga: Kendalikan Polusi Udara, Damkar Jakarta Timur Semprot Jalan Protokol

Selaras dengan Pandu, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyatakan bahwa penyemprotan jalan tidak efektif untuk mengatasi polusi udara.

Sebab, kegiatan itu hanya memindahkan polusi dari satu tempat ke tempat lain.

"Partikel PM2,5 banyak beredar di udara atas, bukan di bawah. Jadi, sebenarnya kalau menyemprot harus di atas, bukan di bawah," kata Menkes di Jakarta, Minggu (27/8/2023), dilansir dari Antara.

"Kegiatan penyemprotnya juga harus luas karena kalau sedikit itu hanya menggeser-geser saja malah bisa menyebarkan pindah ke tempat lain," imbuhnya.

Sebelumnya diberitakan, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta melakukan penyemprotan di sejumlah ruas jalan Ibu Kota. Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono mengatakan, penyiraman menggunakan mobil damkar dilakukan dua kali dalam sehari, yakni pada pagi pukul 10.00 WIB dan siang pukul 14.00 WIB.

"Yang akan dilakukan penyiraman itu dari Patung Kuda, Blok M, lalu dari Cawang hingga Slipi. Itu setiap hari. Selain damkar, ada dari dinas lain, SDA dan Lingkungan Hidup supaya mengurangi polusi di jalan-jalan utama," ucap Heru, Sabtu (26/8/2023).

Baca juga: Wali Kota Depok Tak Akan Semprot Jalan untuk Kurangi Polusi, Ini Alasannya

Kendati demikian, menurut Heru, apabila tidak dapat mengurangi polusi udara di DKI Jakarta, penyemprotan jalan akan dihentikan.

Ia akan berkoordinasi dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya untuk membahas efektivitas penyiraman jalan terhadap penurunan polusi.

"Kalau hasil itu positif, kami jalankan terus, tapi kalau ada negatifnya, kami hentikan," kata Heru.

Beberapa waktu belakangan ini, DKI Jakarta masuk dalam urutan teratas kota dengan kualitas udara terburuk di dunia. Dalam mengatasi polusi udara, pemerintah berupaya mengurangi emisi dari sektor transportasi.

Berdasarkan data Kementerian LHK dua tahun lalu, sektor transportasi menjadi penyumbang terbanyak polusi udara, yakni 44 persen, diikuti sektor industri 31 persen, manufaktur 10 persen, perumahan 14 persen, dan komersial 1 persen.

Guna mengurangi emisi kendaraan, Pemprov DKI Jakarta menetapkan sistem work from home (WFH) untuk 50 persen ASN mulai 21 Agustus-21 Oktober 2023. Pemprov DKI juga mengawasi aktivitas industri dan menyemprot jalan dengan air.

(Penulis: Zintan Prihatini, Sugiharto Purnama (Antara) | Editor: Jessi Carina, Budhi Santoso (Antara)).

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kasus Perundungan Siswi SMP di Bogor, Polisi Upayakan Diversi

Kasus Perundungan Siswi SMP di Bogor, Polisi Upayakan Diversi

Megapolitan
Disdik DKI Akui Kuota Sekolah Negeri di Jakarta Masih Terbatas, Janji Bangun Sekolah Baru

Disdik DKI Akui Kuota Sekolah Negeri di Jakarta Masih Terbatas, Janji Bangun Sekolah Baru

Megapolitan
Polisi Gadungan yang Palak Warga di Jaktim dan Jaksel Positif Sabu

Polisi Gadungan yang Palak Warga di Jaktim dan Jaksel Positif Sabu

Megapolitan
Kondisi Siswa SMP di Jaksel yang Lompat dari Lantai 3 Gedung Sekolah Sudah Bisa Berkomunikasi

Kondisi Siswa SMP di Jaksel yang Lompat dari Lantai 3 Gedung Sekolah Sudah Bisa Berkomunikasi

Megapolitan
Polisi Gadungan di Jaktim Palak Pedagang dan Warga Selama 4 Tahun, Raup Rp 3 Juta per Bulan

Polisi Gadungan di Jaktim Palak Pedagang dan Warga Selama 4 Tahun, Raup Rp 3 Juta per Bulan

Megapolitan
Pelajar dari Keluarga Tak Mampu Bisa Masuk Sekolah Swasta Gratis Lewat PPDB Bersama

Pelajar dari Keluarga Tak Mampu Bisa Masuk Sekolah Swasta Gratis Lewat PPDB Bersama

Megapolitan
Dua Wilayah di Kota Bogor Jadi 'Pilot Project' Kawasan Tanpa Kabel Udara

Dua Wilayah di Kota Bogor Jadi "Pilot Project" Kawasan Tanpa Kabel Udara

Megapolitan
Keluarga Korban Begal Bermodus 'Debt Collector' Minta Hasil Otopsi Segera Keluar

Keluarga Korban Begal Bermodus "Debt Collector" Minta Hasil Otopsi Segera Keluar

Megapolitan
Masih di Bawah Umur, Pelaku Perundungan Siswi SMP di Bogor Tak Ditahan

Masih di Bawah Umur, Pelaku Perundungan Siswi SMP di Bogor Tak Ditahan

Megapolitan
Polisi Gadungan di Jaktim Tipu Keluarga Istri Kedua Supaya Bisa Menikah

Polisi Gadungan di Jaktim Tipu Keluarga Istri Kedua Supaya Bisa Menikah

Megapolitan
Ini Berkas yang Harus Disiapkan untuk Ajukan Uji Kelayakan Kendaraan 'Study Tour'

Ini Berkas yang Harus Disiapkan untuk Ajukan Uji Kelayakan Kendaraan "Study Tour"

Megapolitan
Siswa SMP Lompat dari Gedung Sekolah, Polisi: Frustasi, Ingin Bunuh Diri

Siswa SMP Lompat dari Gedung Sekolah, Polisi: Frustasi, Ingin Bunuh Diri

Megapolitan
5 Tahun Diberi Harapan Palsu, Sopir Angkot di Jakut Minta Segera Diajak Gabung ke Jaklingko

5 Tahun Diberi Harapan Palsu, Sopir Angkot di Jakut Minta Segera Diajak Gabung ke Jaklingko

Megapolitan
Seorang Perempuan Luka-luka Usai Disekap Dua Pria di Apartemen Kemayoran

Seorang Perempuan Luka-luka Usai Disekap Dua Pria di Apartemen Kemayoran

Megapolitan
Korban Begal Bermodus 'Debt Collector' di Jaktim Ternyata Tulang Punggung Keluarga

Korban Begal Bermodus "Debt Collector" di Jaktim Ternyata Tulang Punggung Keluarga

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com