Icha mengaku, penjualannya yang sedikit tidak sebanding dengan usahanya ketika berjualan.
Setiap harinya, ia harus berteriak untuk mendapatkan perhatian pengunjung Pasar Tanah Abang.
Tak hanya itu, Icha juga pernah berjualan melalui akun TikTok. Namun, penontonnya hanya sedikit.
"Padahal, kami sudah teriak-teriak sampai suara saya habis. Kadang, kami live enggak ada yang checkout," tutur Icha.
Mendengar keluhan Icha, Zulkifli menegaskan, pemerintah pusat hanya mengizinkan media sosial sebagai alat promosi. Media sosial tak diperkenankan untuk berjualan.
"Kalau dia mau menjadi social commerce, harus ada izin. Nah, social media itu dia enggak boleh jualan. Hanya iklan saja seperti TV, TV kan iklan saja, promosi," kata Zulkifli.
Pedagang lain, Dasya, turut mengaku kepada Zulkfli bahwa pendapatannya berkurang drastis pada 2023.
"Tahun ini tuh benar-benar tahun yang drastis banget, turun banget tahun ini. Puncaknya (penurunan) bulan ini," ungkap Dasya kepada Zulkifli.
Baca juga: Keliling Pasar Tanah Abang, Mendag Zulhas Dengar Curhatan Pedagang
Mendag lantas bertanya apakah penurunan pendapatan itu disebabkan keberadaan pedagang yang berjualan via online.
"Apakah karena kalah saing sama online?" tanya Zulkifli kepada Dasya.
"Iya, benar-benar kerasa kalah saing banget sama online sih," Dasya menjawab.
Dasya menyebutkan, barang yang dijual via online cenderung lebih murah dan didatangkan dari luar negeri. Karena itu, dagangan yang dijual di Pasar Tanah Abang tidak laku.
"Harganya juga kan kalo online itu langsung dari sana ya (diimpor). Jadi bisa jual harga murah (via online)," ungkap Dasya.
Zukifli turut menyebutkan, penjual barang via online kerap menerapkan skema penjualan bernama predatory pricing.
Penjaga toko bernama Icha awalnya mengaku kalah saing dengan pedagang yang berjualan via online.