JAKARTA, KOMPAS.com - Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) Kerakyatan mengaku kecewa terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (16/10/2023).
Seperti diketahui, MK mengabulkan gugatan yang dimohonkan oleh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Surakarta (Unsa) bernama Almas Tsaqibbirru dalam perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
"Hari ini kami merasa sangat sedih, kecewa, dan juga terpukul melihat kondisi hukum, demokrasi, dan konstitusi kita akhir-akhir ini," kata Ketua BEM UI Melki Sedek Huang di depan gedung MK kepada awak media, Senin sore.
Baca juga: Kecewa MK Kabulkan Gugatan Batas Usia Capres Cawapres, Ketua BEM UI: Bukan Ranah Yudikatif
Melki berpendapat bahwa putusan batasan usia capres dan cawapres bukan wewenang MK.
"Kami tahu betul bahwa putusan tentang batasan usia (capres-cawapres) harusnya bukan menjadi domain (atau) ranah dari yudikatif di MK," kata Melki.
"Dia adalah ranah legislatif selaku pembuat Undang-Undang," sambungnya.
Oleh sebab itu, Aliansi BEM SI Kerakyatan mempertanyakan putusan MK. Sebab, tidak seharusnya MK membuat putusan itu.
“Permasalahan utamanya bukan siapa yang menggugat, tapi apa hasil putusan dan dampaknya bagi masyarakat Indonesia,” kata Melki.
Menurut Melki, seharusnya sembilan hakim MK memahami betul putusan mana yang harus dikeluarkan.
“Silakan pertimbangkan pada seluruh aturan yang mengacu. Aturan yang mengatur tentang bagaimana MK mengeluarkan putusan, apakah ini domain MK, apakah ini adalah ranah MK, dan apa rasionalisasinya,” ucap Melki.
Lebih lanjut, proses hukum atas sidang MK terkait perkara batas usia capres-cawapres dianggap tidak tepat sehingga aspek yuridis dalam hal itu menjadi tidak sesuai.
“Dari proses awal sidang (proses hukum) tidak benar. Maka, ke depan juga tidak tepat,” jelas Melki.
“Kami menambahkan kepada masyarakat, turunnya kami mengawal dari awal sampai akhir, kami lebih menekankan ke aspek yuridisnya, bukan aspek politisnya,” tambahnya.
Menurut Melki, Aliansi BEM SI menilai MK tidak konsisten dan cenderung bersifat politis saat memutuskan gugatan perkara nomor 90/PUU/21 Tahun 2023.
Karena itu, BEM SI Kerakyatan meminta MK tunduk pada kode etik yang ada untuk menjaga independensi para hakim.
Selanjutnya, MK diminta berhati-hati dalam memutuskan sebuah gugatan.
Baca juga: BEM SI Sebut MK Inkonsisten dan Politis karena Kabulkan Gugatan Batas Usia Capres-Cawapres
"Hakim MK seharusnya perlu mempertimbangkan dengan hati-hati. Untuk tidak memutuskan perkara yang terkait dengan isu open legal policy," ucap Melki.
Sebagai wujud kekecewaannya, Melki mengajak warga sipil untuk rapat dan berkonsolidasi di kampus Politeknik Negeri Jakarta (PNJ).
"Kami undang seluruh elemen masyarakat sipil untuk rapat, melawan, berkonsolidasi di kampus PNJ," jelas dia.
Selain itu, BEM SI Kerakyatan juga mengajak masyarakat sipil ikut menggaungkan penolakan terkait putusan MK.
"Kami pun mengundang seluruh elemen masyarakat sipil untuk menggaungkan penolakan silakan penuhkan jalanan dengan demonstrasi sepanjang tanggal 20 Oktober 2023!" seru Melki.
Baca juga: Kecewa Putusan MK soal Usia Capres-Cawapres, BEM SI Ajak Warga Sipil Demo 20 Oktober
Sebelumnya, MK mengabulkan gugatan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Gugatan ini dimohonkan oleh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Surakarta (Unsa) bernama Almas Tsaqibbirru.
"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pembacaan putusan, Senin.
Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sedianya berbunyi, “Persyaratan menjadi calon presiden dan calon wakil presiden adalah: berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun.”
Atas putusan MK ini, seseorang yang pernah menjabat sebagai kepala daerah atau pejabat negara lainnya yang dipilih melalui pemilu bisa mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden meski berusia di bawah 40 tahun.
"Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) yang menyatakan, 'berusia paling rendah 40 tahun' bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah," ujar hakim Anwar Usman.
Baca juga: Putusan MK: Kepala Daerah Belum Berusia 40 Tahun Bisa Maju Pilpres, Berlaku Mulai Pemilu 2024
Dengan demikian, Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu selengkapnya berbunyi, “Berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.”
MK menyatakan, putusan ini berlaku mulai Pemilu Presiden 2024.
(Tim Redaksi: Xena Olivia, Jessi Carina)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.