Baginya, pasar malam mempunyai kisah tersendiri. Alih-alih tak sabar menjajal wahana yang lain, Akram tak berkenan menceritakannya.
“Ah jangan, malu saya nanti. Intinya cuma bernostalgia saja datang ke sini. Karena kan keberadaan pasar malam ini sudah jarang banget di Jakarta. Nah, ini kebetulan ada,” ungkap Akram yang baru saja selesai bermain ombak banyu.
Berbeda dengan Akram, warga Lenteng Agung bernama Jaka (30) mengungkapkan, dia datang ke pasar malam bersama keluarga ini demi menghibur buah hatinya yang masih berusia tiga tahun.
Mereka menjajal wahana pasar malam yang sekiranya aman bagi anak, seperti komedi putar, memancing ikan-ikanan, hingga mewarnai.
“Sebenarnya datang ke sini secara enggak langsung kayak ajari anak buat bersosialisasi bareng anak-anak lain sekaligus melatih motorik anak juga kan. Daripada anak dijejelin ponsel mulu,” kata Jaka dalam kesempatan berbeda.
Baca juga: Runtuhnya Geliat Bisnis di Pasar Tanah Abang akibat Gempuran Produk Impor Murah
Kepala karyawan sekaligus pekerja di pasar malam bernama Eko (32) mengungkapkan, tempat hiburan sederhana ini dibuka setiap hari mulai pukul 16.00 WIB sampai 23.00 WIB.
Kendati demikian, pasar malam ini hanya tersedia selama satu bulan mulai 20 Mei hingga 20 Juni 2024.
“Karena kan kami pindah-pindah, entar satu bulan di sini lalu pindah lagi. Kalau kami stay, masyarakat pasti bosan. Makanya demi pasar malam bertahan, kami nomaden,” kata Eko kepada Kompas.com, Selasa.
Oleh karena itu, para pekerja pasar malam yang jumlahnya 30 orang ini selalu bermalam di wahana masing-masing. Tidur pun beralaskan seadanya, entah kardus ataupun tikar.
Meski pasar malam tampak ramai pengunjung, bagi Eko, kondisi tersebut terbilang sepi mengingat ada beberapa wahana yang hampir tak terjamah warga, dua di antaranya adalah rumah hantu dan komedi putar.
“Saya kerja di dunia pasar malam sejak 2014. Kalau dibandingkan dulu, jumlah pengunjung berbeda jauh. Karena apa? Anak zaman sekarang fokus ke handphone, kami juga kalah sama mal gitu,” ucap pria yang akrab disapa Mas Laler.
“Makanya bisa dibilang, pasar malam itu sudah mulai ditinggalkan masyarakat. Dulu itu, rumah hantu favorit, enggak tahu deh sekarang,” kata Eko melanjutkan.
Pria asal Jawa Tengah itu berujar, pekerja di pasar malam mempunyai hasil yang setara karena menerapkan sistem gotong-royong.
“Jadi, semua penghasilan digabung. Nah, 25 persen dari penghasilan lalu dibagi 30 karyawan. Jadi, pekerja di wahana yang sepi punya penghasilan yang sama juga dengan yang ramai,” ungkap Eko.
Hanya saja, penghasilan itu tidak termasuk dengan uang parkir. Berdasarkan keterangan salah satu juru parkir, tempat parkir dikelola oleh warga setempat serta organisasi masyarakat (ormas).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.