Awal tahun ini, Unit Pengelola Transjakarta membutuhkan sedikitnya 1.312 pengemudi baru. Namun, yang terdaftar baru sekitar 180. Kebutuhan ini guna mencukupi operasional 656 bus baru, dengan rincian 310 bus transjakarta dan 346 bus sedang.

”Mencari sopir dengan kapasitas yang kami inginkan memang sulit. Sebab, tidak banyak orang yang memiliki SIM (surat izin mengemudi) B1 dan B2 umum,” kata Kepala Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta Udar Pristono, Minggu (2/2), di Jakarta.

Kondisi ini yang membuat peluncuran bus baru tidak bisa dilaksanakan sekaligus, tetapi secara bertahap. Pada Januari lalu, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta meluncurkan bus baru transjakarta dalam tiga gelombang. Selama itu, diluncurkan 90 bus gandeng baru untuk melayani sejumlah koridor.

”Satu paket dengan pengadaan bus, sopir, pegawai pendukung, sekuriti, dan manajemen pegawai juga dibutuhkan. Sopir yang lolos seleksi sebagian besar dari bekas sopir transjakarta Koridor I (Blok M-Kota),” tutur Pristono.

Sementara tahun ini, penambahan bus baru terus dilakukan. Pemprov DKI Jakarta membeli bus transjakarta dan bus sedang dengan anggaran Rp 2,5 triliun.

Persoalan jamak

Persoalan yang sama dihadapi pengusaha angkutan yang tergabung dalam Organisasi Pengusaha Nasional Angkutan Bermotor di Jalan (Organda) DKI Jakarta. Ketua Organda DKI Shafruhan Sinungan mengatakan, mencari sopir yang memenuhi kualifikasi juga menjadi persoalan operator angkutan umum.

Menurut Shafruhan, mencari sopir angkutan umum dengan kualifikasi khusus tidak mudah. ”Kalau sopir sekadar sopir, banyak. Yang sulit adalah mencari orang yang memenuhi kualifikasi menjadi sopir angkutan umum,” tutur Shafruhan.

Salah satu sebab sulitnya mencari sopir angkutan adalah karena banyak orang yang enggan menjalani profesi sebagai sopir. Sopir masih dianggap sebagai profesi yang lebih rendah dibandingkan profesi lain. ”Sopir dinilai bukan pekerjaan yang membanggakan. Menjadi sopir adalah pilihan terakhir setelah tak ada pekerjaan lain,” ujar Shafruhan.

Akibatnya, ketersediaan sopir angkutan umum tidak sesuai dengan kebutuhan. ”Semua operator angkutan, bus ataupun taksi, persaingannya sama, mencari sopir. Ini harus kita evaluasi. Kalau sopir sekadar sopir, banyak, tetapi akhirnya jadi sopir tembak. Sebagai operator, kita tidak mau asal sopir, kita mau sopir yang sesuai kualifikasi,” paparnya.

Shafruhan mengingatkan, setelah menambah bus transjakarta, Pemprov DKI harus menyiapkan manajemen operasional di lapangan.

Michael (33), sopir angkutan penumpang di Jakarta, mengaku baru mengetahui informasi itu. ”Sebaiknya Pemprov DKI membuka informasi lebih transparan, termasuk sistem penggajian,” tutur pria yang mengaku berminat menjadi sopir transjakarta ini. (RAY/NDY)