JAKARTA, KOMPAS.com - Masa cuti kampanye Gubernur DKI Jakarta petahana, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, akan berakhir 11 Februari 2017 nanti. Ia pun akan aktif kembali untuk menjabat Gubernur.
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) telah melakukan pembahasan untuk menonaktifkan Ahok terkait kasus yang menjeratnya saat ini, yaitu sebagai terdakwa dengan sangkaan pasal Pasal 156 a KUHP tentang penodaan agama juncto Pasal 28 ayat 2 Undang-undang nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
"Di dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah mensyaratkan bahwa perbuatan yang bisa memberhentikan sementara Gubernur atau Kepala Daerah, jika melakukan tindak pidana berat. Yaitu pembunuhan, korupsi, dan melawan negara, di mana ancaman hukumannya diatas lima tahun penjara," kata Kapuspen Kemendagri Dody Riyadmadji, ketika dihubungi Warta Kota, Selasa (7/2/2017).
Karena itu, pihaknya telah melakukan pembahasan bersama Menteri Dalam Negeri, Dirjen Otonomi Daerah, dan Biro Hukum Mendagri untuk menentukan apakah Ahok akan dinonaktifkan atau tidak.
"Tuntutan jaksa yang masuk register perkara itu ada dua pasal, kami sudah membahasnya. Tapi belum memberikan keputusan. Nanti keputusannya setelah Gubernur petahana aktif kembali," katanya.
Jika memang keputusannya Ahok dinonaktifkan, maka Wakil Gubernur DKI Jakarta, Djarot Syaiful Hidayat yang menggantikan posisinya, yaitu dengan menjabat sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur DKI Jakarta.
"Kami tidak bisa memberikan keputusan karena Gubernur masih dalam masa cuti. Nanti setelah aktif kembali baru keputusan akan diberikan," katanya. (Baca: Bakal Diberhentikan Sementara sebagai Gubernur DKI, Ini Kata Ahok)
Pasal 156a :
Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Bunyi Pasal 28 ayat (2) UU ITE :
Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Ancaman pidana dari Pasal 28 ayat (2) UU ITE tersebut diatur dalam Pasal 45 ayat (2) UU ITE, yaitu pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah). (Mohamad Yusuf)