JAKARTA, KOMPAS.com - Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan akhirnya memutuskan kebijakan yang akan ditempuh terkait pengelolaan air bersih di Jakarta. Anies memilih opsi langkah perdata untuk mengambil alih pengelolaan air bersih yang selama ini ditangani swasta.
"Opsi yang disarankan oleh Tim Tata Kelola Air adalah pengambilalihan pengelolaan melalui tindakan perdata dan opsi itulah yang kami ikuti, kami akan jalankan sesuai dengan rekomendasi tim tata kelola air," kata Anies dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (11/2/2019).
Upaya pengambilalihan pengelolaan itu dilakukan sejak Mahkamah Agung (MA) memerintahkan swastanisasi itu disetop lewat putusan kasasi pada 2017.
Baca juga: Menanti Langkah DKI Setelah MA Batalkan Penghentian Swastanisasi Air
Anies kemudian membentuk Tim Evaluasi Tata Kelola Air Minum yang bertugas merumuskan kebijakan strategis sebagai dasar pengambilan keputusannya. Tim tersebut mengkaji kontrak yang dijalin PAM Jaya dengan dua pihak swasta, yaitu Aetra dan Palyja. Disimpulkan DKI dan warganya mengalami kerugian dalam kerja sama dengan dua pihak swasta itu.
"Tujuannya (pengambilalihan) adalah mengoreksi kebijakan perjanjian yang dibuat di masa Orde Baru tahun 1997. Dan kami tahu selama 20 tahun perjalanan perjanjian ini, pelayanan air bersih di Ibu Kota tidak berkembang sesuai dengan harapan," ujar Anies.
Anies menjelaskan, saat kerja sama dimulai, cakupan layanan air bersih di DKI Jakarta sebesar 44,5 persen pada 1998. Pada 2018, cakupan layanan air bersih baru sebesar 59,4 persen. Padahal, targetnya cakupan layanan air sebesar 82 persen di tahun 2023.
"Artinya, waktu 20 tahun hanya meningkat 14,9 persen," kata Anies.
Kontrak dengan Aetra dan Palyja akan berakhir kurang lebih empat tahun lagi, yaitu pada 2023. Anies menyayangkan dua perusahaan swasta itu tak mencapai target penyediaan air bersih bagi warga kendati sudah 20 tahun menguasai pengelolaan air Jakarta.
Padahal, Pemprov DKI Jakarta melalui PAM Jaya setiap tahunnya harus memberikan jaminan keuntungan 22 persen.
"Coba sederhananya begini. Targetnya tidak tercapai. Tapi keuntungannya wajib dibayarkan oleh negara. Kalau hari ini angkanya tercapai, mungkin lain cerita. Tapi hari ini angka itu tidak tercapai. Target jangkauannya. Tapi negara berkewajiban (membayar)," kata Anies.
Anggota Tim Evaluasi Tata Kelola Air Minum bentukan Anies, Nila Ardhianie menjelaskan jaminan keuntungan yang harus dibayar ke pihak swasta selama ini memberatkan DKI. DKI masih membayar keuntungan kepada Palyja, namun sudah tak lagi kepada Aetra.
"Ada kekurangan deviden itu yang harus dibayarkan oleh PAM Jaya. Nanti kalau PAM Jaya tidak bisa, itu harus ditanggung oleh Pemprov yang nilainya tidak sedikit, sampai triliun-triliunan. Kira-kira kurang lebihnya Rp 8,5 triliun," ujar Nila.
Direktur Amrta Institute itu merinci, dari Rp 8,5 triliun sebesar Rp 6,7 triliun untuk Palyja dan Rp 1,8 triliun untuk Aetra.
Di sisi lain, DKI tak bisa menambah layanan bagi warganya sebab Palyja dan Aetra punya hak eksklusivitas.
"Jadi memang keseluruhan layanan ada di tangan swasta. Lalu kemudian juga ada pasal yang mengatur mengenai self financing. Ini juga yang membuat pemerintah provinsi, (jika) mau menyalurkan dananya untuk membantu rakyatnya sendiri itu juga jadi sulit. Harus ada kesepakatannya dulu. Harus ada MoU begitu yang tidak mudah dilakukannya," ujar Nila.