JAKARTA, KOMPAS.com - Kawasan Manggarai dan sekitarnya merupakan contoh nyata ironi ibu kota.
Di balik laju pembangunan yang masif di Jakarta, tak sedikit yang tersisih dan akhirnya terlindas jadi remah-remah.
Manggarai ada di pusat Jakarta, tetapi sama sekali bukan jantung peradaban modernnya. Ia malah menjelma lokasi pusaran masalah sosial yang membelit kaum miskin kota.
“Di sana ada berbagai macam kegiatan orang bertahan hidup. Dari yang legal maupun ilegal, bercampur-baur di sana. Ada permukiman isinya orang mabuk, peredaran narkoba, itu semua segala macam underground activity,” kata sosiolog UI, Imam Prasodjo kepada Kompas.com, Senin (2/12/2019).
Imam mengatakan, masalah-masalah sosial kaum miskin kota di Manggarai semakin pelik seiring kian “rakusnya” Jakarta.
Mereka yang tercecer dari laju peradaban modern akhirnya harus berdamai dengan kemiskinan struktural.
Fenomena tawuran yang seringkali pecah di Manggarai menyodorkan kita cara membaca kemiskinan struktural yang kerap luput dari pandangan.
Mengenal kemiskinan struktural yang menjebak para pemuda Manggarai dapat membawa pemahaman baru, bahwa tindakan tawuran bukan datang dari ruang hampa atau lahir dari kehendak bebas para pemuda.
Baca juga: Kisah di Balik Tawuran Manggarai, Medsos Dipakai untuk Janjian...
Menggunakan sudut pandang yang luas, mudah bagi seseorang mendakwa para pemuda yang terlibat tawuran di Manggarai sebagai biang onar.
Tudingan itu tentu berdasar, tawuran di Manggarai memakan korban, merusak fasilitas umum, dan mengusik serta meresahkan aktivitas warga lain.
Sudut pandang ini pula yang selama ini menguasai perbincangan tatkala kerusuhan pecah di Manggarai.
Jelas tertulis dalam Ikrar Muspida (musyawarah pimpinan daerah) Jakarta Selatan dan Pusat pada 29 Oktober 2019 lalu, misalnya, tawuran ditimbulkan oleh kelakuan provokator.
Bahkan, dalam Ikrar yang diimpikan mampu memutus rantai kekerasan itu tertulis, Muspida mendukung pencabutan fasilitas dari pemerintah seperti KJP dan BPJS terhadap para pelaku tawuran.
Sebulan usai ikrar ini dibacakan, tawuran kembali pecah di Manggarai, Minggu (1/12/2019).
Ini menandakan, ikrar sebulan lalu memang tak punya arah menyelesaikan apa-apa di balik fenomena tawuran Manggarai.
Lebih dari itu, ikrar itu mencerminkan “rabun jauh” para pemangku kepentingan membaca persoalan secara detail.
“Memutus spiral kekerasan di Manggarai butuh langkah terpadu pemangku kepentingan dari segi hukum, kepemimpinan, dan komunikasi interpersonal terhadap adik-adik kita. Pendekatannya harus partisipatif, bukan sekadar mobilisasi,” ujar Andi Muhammad Jufri, Direktur Eksekutif CERIC (Pusat Kajian Antargolongan dan Resolusi Konflik) Universitas Indonesia ketika dihubungi Kompas.com, Senin (2/12/2019) sore,
Jufri menambahkan, Ikrar Muspida yang dibacakan di pengujung Oktober 2019 lalu tak lebih dari basa-basi dalam upaya meruntas rantai kekerasan di Manggarai.
Tidak ada pimpinan lokal yang mendekati para pemuda yang terlibat tawuran. Perwakilan warga yang diminta membacakan ikrar pun, kata Jufri, tak punya pertalian erat dengan para pemuda tadi.
Baca juga: Polisi Buru 4 Orang Warga yang Terlibat dalam Tawuran Manggarai
Singkatnya, mereka tidak representatif, apalagi mewakili pikiran para pemuda tadi soal tawuran.
Jufri sudah lima tahun lebih berkutat dengan kehidupan sosial kaum miskin kota di Manggarai sebagai peneliti.
Ia telah memotret dari jarak dekat, bagaimana kemiskinan struktural mengurung para pemuda Manggarai.
Kemiskinan struktural bukan sekadar timbul akibat ketidakmauan seseorang mencari nafkah.