JAKARTA,KOMPAS.com - Sampai saat ini tenaga medis masih menjadi ujung tombak negara untuk memerangi Covid-19. Mereka masih menjadi garda terdepan walau satu per satu mulai berjatuhan, dari dokter, perawat, hingga sopir ambulans sekalipun.
Rasa takut tertular mau tidak mau dipendam dalam-dalam. Semua dilakukan hanya demi menyelamatkan nyawa satu orang yang bahkan mereka tidak kenal.
Namun, di satu sisi mereka hanyalah manusia biasa. Punya hati, perasaan, bisa mengeluh, lelah, bahkan menangis. Siapa yang mau peduli?
Kadang sisi humanis itu yang luput dari masyarakat. Lelah dan tangis mereka dalam melayani tertutup rapi di balik pakaian alat pelindung diri (APD) nan tebal.
Baca juga: UPDATE: RSD Wisma Atlet Rawat 1.205 Pasien Covid-19, RSKI Pulau Galang 71
D (25) salah satunya. Dia adalah satu dari perawat-perawat yang bekerja di Wisma Atlet Kemayoran. Kepada Kompas.com, dia bersedia membagikan kisahnya.
Wanita yang sebelumnya bertugas di salah satu rumah sakit di Jakarta ini sudah berada di Wisma Atlet Kemayoran sejak Mei 2020.
Merawat pasien tentu bukan hal baru bagi D. Namun, dia tetap memiliki kesan pertama kala bertugas di salah satu pusat penanganan Covid-19 di Jakarta itu.
“Hari pertama kerja, panas,” ucap dia lugas.
Panas dia rasakan ketika mengenakan APD berupa baju hazmat. Dia menyebutkan bahwa baju itu tebalnya setara dengan terpal. Selain itu sarung tangan yang dipakainya pun berlapis, masker juga berlapis, sepatu boots dan pelindung wajah alias face shield.
Tak tanggung-tanggung, D harus memakai pakaian itu selama delapan jam penuh dalam sehari.
Baca juga: Kisah Pengawas UTBK di Masa Pandemi, Gunakan Hazmat, Keyboard dan Mouse Dibungkus Plastik
“Enggak boleh makan, enggak boleh minum, enggak boleh buang air. Bayangin,” ucap dia.
Hampir setiap hari setelah selesai bertugas, baju dalam yang dia pakai basah lantaran dibanjiri keringat. Sesekali D memandangi telapak tanganya yang selalu mengeriput kala melepas APD dari badan.
Sebagian dari teman-temannya memakai pampers agar bisa buang air kecil selama bertugas. Namun, D tak melakukan itu. Dia memilih tidak makan dan minum banyak sebelum bertugas agar tak banyak buang air.
Namun, lambat laun D mulai terbiasa dengan situasi itu. APD layaknya pakaian sehari-hari yang sudah tidak perlu dikeluhkan lagi.
Pekerjaan D mengharuskan dirinya untuk dekat dengan pasien. Dari mulai pasien yang ramah maupun tidak ramah sudah dia temui di sana. Bahkan, tak jarang para perawat menjadi sasaran amarah para pasien.