JAKARTA, KOMPAS.com - Korban pelecehan payudara berinisial R (25) memilih tidak melaporkan pelaku berinisial R (30) ke polisi karena menganggap itu sebagai aib bagi dirinya.
Padahal, korban sempat diraba payudaranya oleh R (30) di sebuah gang sempit di Jalan Kampung Bulak, Kelurahan Tugu Utara, Koja, Jakarta Utara, pada Senin (9/1/2023) malam.
Alhasil, pelaku R (30) yang semula telah ditangkap, tetapi tak ditahan oleh pihak kepolisian lantaran. Hal ini terjadi karena korban tidak ingin membuat laporan polisi.
Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Siti Aminah Tardi, mengatakan, sikap korban itu terjadi karena ia mengkhawatirkan bahwa kelak akan banyak yang melihat dan itu juga aib bagi dirinya.
Baca juga: Pelaku Pelecehan Payudara di Koja Bisa Saja Dijerat Hukum Tanpa Ada Laporan Korban, Ini Pasalnya..
"Karena dimungkinkan akan tersebar identitas korban. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari pandangan dan sikap masyarakat yang masih menilai sebagai aib dan menyalahkan korban," tutur Siti kepada Kompas.com, Senin (16/1/2023).
Selain itu, kata Siti, korban bisa saja enggan melapor karena mekanisme klaim keadilan melalui sistem peradilan pidana yang akan panjang. Apabila korban tidak siap, kata dia, akan memperburuk dampak yang akan dialami.
Berdasarkan hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2021, Siti mengungkapkan sebesar 26,1 persen atau 1 dari 4 perempuan usia 15-64 tahun selama hidupnya pernah mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual yang dilakukan pasangan dan selain pasangan.
"Sementara yang masuk ke sistem peradilan pidana tidak sebanyak data berdasarkan survey tersebut," kata Siti.
Hal yang sama juga terjadi dalam survey pelecehan seksual di ranah publik dari Koalisi Ruang Publik Aman.
Siti menyebutkan selama pandemi Covid-19, empat dari lima perempuan pernah mengalami pelecehan seksual di ruang publik atau 79 persen dari 3.539 Perempuan.
Untuk itu, Siti berujar pemerintah hingga masyarakat perlu mendorong korban mengadukan kasusnya dan juga mendorong perbaikan sistem layanan hukum dan layanan pemulihan untuk memberikan rasa aman dan nyaman ketika melapor.
Siti mengatakan aparat, pemerintah, hingga masyarakat perlu menumbuhkan kepercayaan kepada korban kekerasan seksual.
"Bahwa, saat ini hak-hak korban kekerasan seksual telah dijamin dalam Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS)," tutur Siti.
Baca juga: Enggan Lapor, Korban Pelecehan Payudara di Koja Anggap Kasusnya Sebagai Aib
Menurut Siti, dengan adanya UU tersebut maka aparat penegak hukum diwajibkan memberikan kenyamanan dalam proses pemeriksaan korban. Selain itu, korban didampingi oleh pedamping untuk membantunya memahami hak-haknya.
"Dengan membantu mengelola trauma dan mempersiapkan diri untuk proses penyelesaian kasusnya," tutur Siti.
Siti juga menekankan bahwa pemerintah daerah juga perlu membangun infrastruktur pencegahan kekerasan seksual di ruang publik, melalui pembangunan infrastruktur fisik dan infrastruktur keamanan.
"Seperti lampu penerangan, kamera CCTV, dan sistem keamanan seperti patroli atau membangun keamanan bersama warga di daerah-daerah yang dinilai rawan," tutur Siti.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.