JAKARTA, KOMPAS.com - Jakarta sebentar lagi resmi menyandang status baru sebagai daerah khusus, bukan lagi sebagai ibu kota negara.
Dasar hukumnya pun sudah disusun dan disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI bersama pemerintah.
Nantinya, Jakarta memiliki kewenangan khusus dalam menjalankan pemerintahan, sebagai wilayah pusat perekonomian sekaligus kota global.
Sementara itu, Ibu Kota akan pindah ke Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur.
Kendati demikian, Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri Suhajar Diantoro menilai perubahan status tersebut tidak berarti membuat Jakarta bisa menahan atau mengurangi urbanisasi ke daerahnya.
Baca juga: UU DKJ: Kelurahan di Jakarta Wajib Dapat Anggaran 5 Persen dari APBD
Berdasarkan data hasil riset yang dimiliki Suhajar, hanya satu dari tiga penduduk Indonesia yang memilih tetap tinggal di desa.
Alasannya karena masyarakat ingin mendapatkan kesempatan kerja, akses untuk pendidikan dan pelayanan kesehatan, hingga perubahan sosial dan gaya hidup.
“Kadang-kadang kita berpikir bagaimana ya membatasi orang masuk. Padahal, sudah takdir sebuah kota akan dikunjungi ramai orang, itu memang sudah di mana-mana,” ujar Suhajar dalam diskusi daring Forum Merdeka Barat 9, Senin (22/4/2024) kemarin.
Dengan begitu, Jakarta akan tetap ramai dan menjadi salah satu tujuan pendatang, meski tak lagi berstatus ibu kota negara. Kondisi ini, dianggap Suhajar sangat wajar terjadi kota-kota besar di dunia.
Untuk itu, Undang-Undang (UU) Daerah Khusus Jakarta (DKJ) mengatur beberapa aturan khusus agar roda pemerintahan bisa berjalan optimal, termasuk dalam mengatasi permasalahan yang ada sebelumnya.
Baca juga: Pemda DKJ Berwenang Batasi Jumlah Kendaraan Milik Warga Jakarta
Dalam diskusi yang sama, Pengamat Tata Kota dari Universitas Trisakti Yayat Supriyatna memprediksi Jakarta akan tetap padat dan macet.
Kondisi ini tidak terlepas dari kekuatan ekonomi Jakarta yang masih didominasi oleh pedagang eceran dan digerakan oleh sektor transportasi.
“Berdasarkan data produk domestik regional bruto (PDRB) 2021-2023, Jakarta ini sangat bergantung pada perdagangan eceran. Ingat di Jakarta ini bisnis terbesar itu digerakan oleh sektor transportasi khususnya motor,” ujar Yayat.
“Bayangkan nih sekarang ada 26 juta kendaraan di Jakarta, sementara 19 jutanya motor. Jadi ekonominya bergerak di situ yang paling besar,” sambungnya.
Di sisi lain, Yayat berpandangan sangat sulit mengembangkan industri pengolahan di Jakarta. Untuk itu pemerintah DKJ nantinya harus bisa mendorong perekonomian di luar sektor bisnis tersebut.
Baca juga: Pemprov DKI Diminta Koordinasi dengan Pusat untuk Selaraskan Aturan Turunan UU DKJ