Pada Selasa (24/11/2015) pagi ini, saat wawancara dengan wartawan, Basuki justru mengaku masih kesal karena tidak diizinkan mendokumentasikan pemeriksaan pada Senin (23/11/2015).
"Pertama, begini, saya telah mengatakan bahwa BPK ini oknumnya tendensius menuduh saya yang tidak masuk akal dan memberi pilihan yang tidak masuk akal," kata Basuki di Balai Kota, Selasa pagi.
"Contoh buktinya, kalau dia mau membuktikan BPK itu tidak ada sesuatu, kamu ingin enggak waktu tanya jawab dibuka saja? Biar seluruh rakyat Indonesia melihat pertanyaan-pertanyaan itu tendensius atau tidak? Dia (BPK) enggak mau ngasih," ujar Basuki dengan nada tinggi.
Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI tidak diperkenankan mendokumentasikan semua pemeriksaan selama sembilan jam tersebut.
Sementara itu, kata Basuki, BPK tetap memasang dua kamera. Rekaman tidak boleh dibuka sebelum penyidikan karena menjadi dokumen negara.
"Saya yakin banyak orang Indonesia banyak yang pengen tahu saya di dalam (diperiksa) 8-9 jam, diapain gitu lho. Berani enggak BPK keluarin (video)? Enggak berani," kata Basuki.
Selain itu, Basuki juga merasa kesal karena BPK tidak mengizinkannya didampingi oleh seorang staf ahli.
Seorang penjahat saja, kata Basuki, selalu didampingi pengacara atau kuasa hukum ketika disidang.
Sementara itu, BPK tidak memperkenankan staf Gubernur untuk mendampingi pemeriksaan Basuki.
"Staf saya mau masuk bantuin cari berkas untuk jawab pertanyaan saja tidak boleh. Saya mana tahu berkasnya begitu banyak, segepok," kata Basuki.
"Begitu sudah selesai BAP (berita acara pemeriksaan) nih ada delapan lembar pertanyaan. Terus mereka tanya lagi ada 4-5 lembar pertanyaan."
"Saya suruh staf (bidang) hukum membaca ada tersirat jebakan atau tidak (di BAP), baru saya tanda tangan, boleh enggak? Enggak boleh," kata Basuki kesal.
Saat tiba di BPK kemarin, Basuki sempat memarahi auditor karena tidak diizinkan merekam pemeriksaan. Namun, akhirnya Basuki meminta maaf atas peristiwa tersebut.
Selain itu, Basuki juga berterima kasih kepada BPK karena memberi penjelasan perihal buruknya sistem administrasi penganggaran Pemprov DKI.
Kasus pembelian lahan RS Sumber Waras bermula setelah BPK menemukan wanprestasi. Pemprov DKI membayar lahan sebesar Rp 755 miliar.
BPK menemukan adanya indikasi kerugian daerah sebesar Rp 191 miliar. Hal tersebut pertama kali diungkap dalam laporan hasil pemeriksaan (LHP) BPK terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI tahun 2014.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.