Dari pengamatan saya selama ini, saat kemacetan terjadi, nyaris tidak ada petugas. Ke mana mereka? Misalnya, kemacetan di simpang Empang yang mengatur justru warga. Saya mau dan segera koordinasi dengan polisi dan petugas dinas untuk memastikan mereka siap membantu menangani kemacetan. Saya juga akan mendorong polmas lebih berperan aktif mengajak warga turut terlibat dalam pengaturan lalu lintas. Selain itu, perlu mewaspadai sejumlah daerah yang rawan macet, seperti di Pasar Bogor, Jembatan Merah-Stasiun Bogor, dan Jalan KH Sholeh Iskandar yang menjadi simpul kemacetan baru.
Bagaimana dengan angkot?
Itu jelas ditata. Saya ingin tahu berapa sih jumlah ideal angkot di sini. Data ada 3.420 unit itu dari mana? Apakah masih akurat? Yang laik berapa? Yang tidak laik tidak akan diperpanjang. Izin trayek juga akan dievaluasi. Tidak menutup kemungkinan, ada trayek yang harus dihapus sebab bertumpukan. Selain itu, juga harus segera ditentukan dan dibangun halte-halte agar angkot tidak boleh berhenti sembarangan. Jika sembarangan, harus ditindak tegas. Sopir pun nanti harus tersertifikasi. Jika belum ada aturannya, saya buat peraturan wali kota. Bayangkan saja, saat ini masih bisa dilihat banyak angkot disopiri oleh yang masih ABG (anak baru gede alias remaja).
Bagaimana dengan penataan pedagang kaki lima?
Saya menyebutnya empat R, yakni revitalisasi, relokasi, redistribusi, dan represif. Itu sebenarnya tahapan. Urutannya sudah benar, tidak boleh dibalik.
Revitalisasi ialah memaksimalkan pasar yang ada. Pasar-pasar tradisional yang dikelola oleh pemerintah harus menjadi tempat penampung PKL. Di pasar, PKL harus mau ditata sebab dengan penataan, pasar akan menjadi tertib, rapi, dan enak didatangi.
Relokasi maksudnya saya segera mendata dan jika memungkinkan membeli dan membangun tempat-tempat potensial sebagai lokasi baru untuk pembinaan PKL.
Redistribusi maksudnya PKL akan disebarkan sehingga tidak boleh lagi hanya terkonsentrasi di beberapa wilayah. Untuk prasarana, kami siapkan dan banyak kok yang mau membantu.
Represif. Nah, jika ketiga langkah tadi sudah dilakukan tetapi PKL membandel, aturan harus ditegakkan. Saya juga sudah mewanti-wanti petugas agar jangan sampai berani memungut biaya atau ditindak tegas.
Apa rencana Anda untuk menata PKL pada jangka panjang?
Ke depan, saya ingin PKL yang berdagang di Kota Bogor itu ber-KTP sini. Ini bukan diskriminasi, tetapi agar dapat dibina dengan lebih baik. PKL nanti harus memiliki atau membentuk organisasi atau semacam paguyuban. Dengan begitu akan terlihat dan ketahuan berapa jumlah dan kapasitas usaha mereka. Kami akan lebih mudah menentukan sistem operasinya, misalnya mereka harus buka di mana, jam berapa, tanggungjawabnya apa.
Bagaimana dengan penanganan sampah di Kota Bogor?
Harus diakui, pengelolaan sampah di Kota Bogor amat lemah. Harus ada perubahan mendasar. Saya ingin warga proaktif mengatasi masalah sampah sejak dari keluarga. Langkah sederhana, saya tidak akan bosan meminta, kampanye, dan memberi contoh agar sampah dipilah sejak di rumah tangga, antara yang organik dan yang bukan organik. Saya akan minta setiap rumah menyediakan tempat sampah. Kendaraan pengangkut sampah pun akan ditambah truk, sepeda motor, atau gerobak.
Di beberapa tempat ada kelompok masyarakat yang sudah menerapkan bank sampah atau mendaur ulang sampah atau mengolah sampah menjadi kompos. Nah, contoh yang bagus itu akan didorong agar bisa diterapkan di seluruh wilayah. Nanti, yang benar-benar dibuang ke tempat pembuangan akhir adalah yang tidak bisa lagi diolah. Saya juga mengupayakan perpanjangan kontrak TPA Galuga yang akan berakhir tahun depan. Namun, bersamaan dengan itu, saya ingin membangun pabrik pengolahan sampah. Lahan sudah ada hampir 12 hektar, tetapi masih ada penolakan warga. Mungkin penolakan itu akibat miskomunikasi dengan warga. Saya akan tunjukkan bahwa pengolahan sampah itu akan lebih baik.
Apa yang membuat Anda yakin bisa mewujudkan ketiga program tadi dalam setahun?
Saya harus berani dan siap tidak populer. Intinya, dengan komunikasi yang intensif dan niat tulus, saya yakin warga akan mendapat manfaat dari apa yang akan saya kerjakan. Sebagai pemimpin, saya juga harus siap memberi contoh dan memotivasi. Jika ingin pegawai datang pagi, saya harus datang lebih awal. Jika ingin pegawai rajin, saya harus lebih rajin. Dalam pelayanan publik, saya ingin pegawai bekerja dengan sungguh-sungguh saat melayani masyarakat. Yang bagus tentu dihargai, sedangkan yang tidak bagus harus bisa mempertanggungjawabkan.