"Saya masih ingat, tahun 1986, bulan delapan (Agustus), tanggal 17, saya buka warung soto Ayam di Jakarta," ungkap Supratman, warga asal Lamongan, yang berjualan soto ayam di sebuah gerobak.
Ditemani istrinya, Supratman siang itu melayani belasan orang pembeli yang mengelilingi gerobaknya. Dia mengaku sempat diusir petugas Tramtib dari lokasi awalnya berdagang.
"Dagang (soto ayam) pertama, saya mendapat (masukan) Rp 12.500," ungkapnya, disusul tawa getirnya. Dia mengaku berulangkali pindah tempat dan mengubah menu sajiannya.
Di awal kedatangannya, dia teringat betapa sulitnya "meyakinkan" warga ibu kota untuk mengkonsumi sajian menu istimewanya: lele goreng.
"Saya sempat menjual lele goreng 1kg (baru habis) selama lima hari. Geli orang mau makan. Tapi ke sininya, semakin pesat orang makan pecel lele, ayam goreng, dan soto Lamongan," katanya mengenang.
Pernah mengalami kejayaan di tahun 1990-an, yang ditandai antara lain kemampuannya membeli lima rumah dan warung permanen, naik haji, membantu adik-adiknya, Supratman mengaku telah mengalami jatuh-bangun dalam bisnis kuliner soto Lamongan.
Sekarang dia merintis ulang dengan berjualan soto di pinggir Jalan Sumenep, dan mulai diminati oleh kehadiran pembeli yang menyemut di depan gerobaknya, walaupun dengan resiko diusir oleh tramtib kota.
Usai mencicipi sotonya, saya lantas bertanya seperti apa filosofinya dalam menjalankan bisnis kuliner.
"Keuntungan itu nomor 10 buat saya. Yang pertama, kita harus kontrol masakan. Gimana soto saya ini dikenal enak. Dari dulu saya begitu," ungkap ayah 10 anak ini.
Dulu malu sebut 'Soto Lamongan'
Penjual soto, pecel lele atau pecel ayam, tahu campur dengan atribut "Lamongan" di belakangnya, acap dijumpai di sejumlah ruas jalan di Jakarta dan kota-kota besar lainnya.
Bahkan kehadiran warung Soto Lamongan saat ini diklaim sudah layak disejajarkan dengan kehadiran Restoran Padang atau Warung Tegal yang lebih dulu dikenal di kota-kota besar.
"Ada sebagian orang Lamongan tidak mau menamakan Soto Lamongan. Dulu namanya Soto Surabaya, karena dia malu," kata Wakil Ketua Paguyuban putra asal Lamongan alias Pualam, Bambang Suryodarmo.
"Sekarang karena Lamongan hebat, kemajuannya hebat, didukung pemerintahan Lamongan, mereka menyebut dirinya Soto Lamongan. Sekarang Soto Lamongan merajalela," kata Bambang yang merantau di Jakarta sejak tahun 1980-an awal.
Tidak diketahui sejak kapan warga Lamongan membuka usaha kuliner di Jakarta, namun menurut Bambang, kemungkinan sejak awal tahun 1960-an.