Dia akan memilih menyelamatkan jutaan warga Jakarta dari banjir akibat luapan sungai dibandingkan sekelompok orang yang tinggal di bantaran sungai. Soal mau diapakan sungai itu, lanjut dia, itu masalah yang bisa diperdebatkan.
Hal senada disampaikan Basuki saat menjadi pembicara dalam diskusi yang diselenggarakan Kompas bertajuk "Jakarta Kota Sungai", Selasa (19/1).
"Bisa enggak, sih, sungai itu tanpa beton? Kami ingin bentangannya alami. Bisa, saya bilang. Itu bagus, saya juga suka yang kayak begitu. Masalahnya, kalau di tengah kota, Anda mau robohkan berapa rumah? Mau berapa gedung Anda beli untuk dihancurkan?" katanya.
Menurut Basuki, dengan kondisi banjir Jakarta seperti sekarang, pembicaraan tidak perlu terlalu jauh. Hal-hal paling mendasar tentang sungai harus dipenuhi dulu.
Ini meliputi daerah aliran sungai yang ideal dan jalan inspeksi sungai agar sungai tak meluap saat turun hujan di daerah hulu.
Jika hal dasar itu sudah terpenuhi, Basuki mempersilakan perdebatan teknis penataan sungai dilanjutkan.
Poin pertama yang harus dilakukan untuk memenuhi hal mendasar tersebut adalah menyediakan lahan yang memadai. Persoalannya, di atas lahan tepian sungai sudah tumbuh hunian secara masif selama puluhan tahun.
Pada masa jauh sebelum pemerintahan Basuki, cara-cara penggusuran terhadap warga yang menghuni tepi sungai telah dilakukan.
Metode penggantian lahan dengan uang yang sejak dulu dilakukan kini diganti dengan pemberian rumah susun. Ini ternyata menimbulkan resistensi yang lebih besar.
"Bagi kami sederhana saja. Semuanya harus digusur. Saya sampaikan, tahun ini sampai tahun depan penggusuran akan lebih besar daripada tahun lalu karena rumah susun kami sudah lebih banyak. Jadi, saya menggusur atau tidak menggusur itu tergantung tersedianya rumah susun," tutur Basuki.