JAKARTA, KOMPAS.com - Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ardito Muwardi, dalam sidang kasus kematian Wayan Mirna Salihin, mengatakan, perbedaan waktu kematian Mirna antara yang tertulis dalam surat keterangan medis dan keterangan dokter Prima Yudho yang menangani Mirna pertama kali hanya persoalan administrasi.
Dalam surat keterangan medis yang dikeluarkan Direktur Utama RS Abdi Waluyo, dokter Sutrisno, tertulis bahwa Mirna dinyatakan meninggal pukul 18.30 WIB. Surat keterangan medis itulah yang disebut Ardito sebagai masalah administrasi.
"Masalah itu administrasi, tadi sudah dijelaskan bahwa itu administrasi yang harus dikeluarkan rumah sakit untuk menyatakan seseorang itu meninggal," ujar Ardito seusai persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (29/8/2016).
Sementara berdasarkan kesaksian dokter Prima di persidangan, Mirna dinyatakan meninggal sebelum tiba di RS Abdi Waluyo sekitar pukul 18.00 WIB, atau death of arrival (DoA). Ardito pun menyebut JPU meyakini kesaksian dokter Prima.
"Beda tafsiran ini kan secara surat 18.30, tapi artinya secara materil kita meyakini bahwa ketika korban datang, ya sudah meninggal," kata dia.
Di dalam persidangan, majelis hakim pun sempat menanyakan soal perbedaan waktu kematian Mirna tersebut kepada dokter Prima. Prima pun menjelaskan bahwa yang tertulis dalam surat keterangan medis adalah waktu kematian berdasarkan pemeriksaan medis.
Sementara keterangannya yang menyebutkan Mirna meninggal sebelum tiba di RS Abdi Waluyo berdasarkan pengecekan denyut nadi, jantung, dan napas.
"Jadi saya cek dulu, nadi, lihat napasnya. Kami pasang RJP, melakukan itu sekitar 15 menit. Setelah itu kami pasang EKG karena kan butuh waktu. Setelah tindakan RJP dan EKG, baru kami nyatakan meninggal jam 18.30 secara medis," papar Prima di dalam persidangan.
Prima menjelaskan, RJP dilakukan untuk memacu kerja jantung. Sementara EKG dilakukan setelah RJP untuk memastikan apakah masih ada kerja jantung atau tidak. (Baca: Dokter: Tak Ada Tanda-tanda Asma pada Jessica)
Mirna meninggal setelah meminum es kopi vietnam yang dipesan oleh Jessica Kumala Wongso di Kafe Olivier, Grand Indonesia, pada 6 Januari 2016. Jessica menjadi terdakwa kasus tersebut dan dituduh telah melakukan pembunuhan berencana.