JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah tidak lagi mewajibkan RT/RW melaporkan kegiatannya melalui aplikasi Qlue. Hingga saat ini belum diketahui alasan tidak digunakannya lagi aplikasi pengaduan itu.
Kompas.com mencoba mencari tahu apakah ada dampak dari tidak digunakannya lagi Qlue, dengan mendatangi ketua RT dan RW di kelurahan Kedoya Utara, Kebon Jeruk, Jakarta Barat.
Komarudin (48), Ketua RT 06 di wilayah RW 06, Kedoya Utara, mengaku senang dengan tidak digunakannya lagi Qlue. Menurut dia, penggunaan aplikasi tersebut tidak etis.
"Kami ini (Ketua) RT malu, setiap ada kegiatan difoto. Orang urus surat pengantar difoto. Kami ini kan berhadapan dengan manusia, jadi kesannya mengharapkan imbalan," ujar Komarudin kepada Kompas.com, Selasa (17/01/2017).
"Kalau ketua RT dan pengurusnya sibuk kerja jadi siapa yang laporan. Dan warga juga kerja jadi apa yang mau dilaporkan," ujar Sutarso.
Pendapat senada disampaikan Mursito (54). Ketua RT 04 di wilayah RW 06 ini menyatakan, kewajiban pelaporan Qlue sebanyak tiga kali sehari sulit dilakukan.
"Sebetulnya bermanfaat, namun kalau saya sedang tidak ada di rumah ya susah untuk membuat laporan, " kata Marsito.
Kesamaan pendapat para RT di atas juga dimaklumi oleh Kosasi (60). Pria yang sudah menjadi Ketua RW 06, di kelurahan Kedoya Utara selama dua periode ini menilai Qlue sangat merepotkan.
"Sebenarnya tujuannya bagus, hanya strateginya harus diubah. Karena yang disampaikan forum RW tingkat DKI dan di bawahnya bilang sangat merepotkan," kata Kosasi.
Hilangnya fungsi abdi warga
Sistem pemberian intensif Rp 10.000 per laporan di Qlue juga dinilai merendahkan fungsi RT/RW sendiri. Sofwan Lutfie, Ketua RW 4 di Kedoya Utara mengamini hal itu.
"Kami tidak ingin melakukannya, karena apa yang kami abdikan kepada masyarakat (layanan) hilang. Lain cerita kalau tidak ada sistem seperti itu, kami akan sukarela melakukannya," ujar Sofwan.
"Memangnya Pemerintah DKI mau menghargai kami berapa per bulan. Kami disuruh kirim laporan tiga kali sehari, memangnya kami tidak ada kerjaan lain," kata dia.
Sementara itu, Gunawan (70) yang merupakan ketua RW 09 di perumahaan Green Garden, Kedoya Utarakan menyesalkan pembuatan Qlue yang tidak melibatkan RT dan RW di Jakarta.
"Harusnya sebelum buat aplikasi itu, mereka survei ke lapangan. Lihat kondisinya seperti apa. Mungkinkah pelaporan tiga kali sehari dapat dilaksanakan?" ujar Gunawan.
Meski begitu, ada salah satu RW di Kedoya Utara yang merespons positif pelaporan melalui Qlue, di RW 08 misalnya.
Menurut Amdani (55) yang merupakan Ketua RW 08, aplikasi tersebut sangat membantu para RT di wilayahnya.
"Tidak masalah, malah lebih efektif, ketimbang buat surat pertanggungjawaban. Mungkin karena daerah kami perkampungan dan kumuh jadi banyak hal yang harus dilaporkan," ujar Amdani.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta hingga saat ini memang belum memberi penjelasan mengenai tak digunakannya lagi aplikasi Qlue.
Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur DKI Sumarsono mengatakan, aturan itu telah berlaku sebelum dia menjabat sebagai Plt.
Adapun Sumarsono tidak mengetahui status aturan itu, apakah dicabut atau hanya tidak diberlakukan sementara.
"Bukan (saya yang cabut) orang saya datang sudah ada (aturan itu). Jadi saya masuk barang itu sudah ada, jadi enggak dipakai lagi. Saya enggak tahu prosesnya, tapi waktu saya masuk udah enggak berlaku, pending mungkin, yang jelas tidak ada dilaksanakan," ujarnya.
(Baca: Pemprov DKI Tak Lagi Wajibkan Pengurus RT/RW Lapor melalui Qlue)
Peniadaan aturan itu sempat di-posting melalui aplikasi Qlue beberapa waktu yang lalu.
Dalam posting-nya, Qlue menyebut aturan Pergub No 903 Tahun 2016 tentang penyelenggaraan tugas dan fungsi RT dan RW di DKI Jakarta. Tiap laporan di Qlue dihargai insentif sebesar Rp 10.000 telah ditiadakan.