Menurut Sahrul, warga bukannya tidak mau mengurus sertifikat. Pada 1980, warga dikumpulkan untuk proses pemutihan oleh BPN dan surat tanah yang mereka miliki akan diubah menjadi SHM.
Warga yang masih awam saat itu pun berbondong-bondong menyerahkan girik mereka kepada orang di Kelurahan Pulau Tidung, namun sayangnya proses pemutihan tidak pernah terjadi dan girik itu pun lenyap.
Warga bersikukuh sebagai pemilik tanah. Sebelum 1980, mereka membayar iuran pembangunan daerah (Ipeda) dan juga merawat dan membangun Pulau Pari hingga kini dikenal sebagai salah satu destinasi wisata di Kepulauan Seribu.
Sahrul mengatakan bahwa warga terus diintimidasi, bahkan saat ini tidak bisa merenovasi rumahnya sendiri. Perbaikan kamar mandi dan atap harus dilakukan malam hari secara sembunyi-sembunyi sebab khawatir akan didatangi satpam PT Bumi Pari dan diminta membayar sewa.
Saat ini, tiga nelayan sedang ditahan atas tuduhan pungli. Warga mengklaim pungutan itu bersifat sukarela dan digunakan untuk membangun pulau yang selama ini tidak pernah diperhatikan Pemprov DKI Jakarta.
Martin Hadiwinata dari Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) mengatakan tidak ada yang salah dari pengelolaan Pulau Pari oleh warga. Sebab hal itu dijamin Undang-Undang Nomor 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Martin menuturkan, inisiatif pengelolaan pulau kecil oleh masyarakat seharusnya didukung oleh pemerintah.
"Pengelolaan sumber daya pulau kecil di UU Pokok Agraria juga sudah mengakui pemanfaatan oleh masyarakat lokal dan adat. Kesalahannya terletak di pemeritahan tidak bisa menurunkan mekanismenya," ucap Martin.
(baca: 207 Nelayan Pulau Pari Mau Jadi Penjamin Pembebasan 3 Temannya)
Para aktivis dan advokat yang kini tergabung dalam Koalisi Selamatkan Pulau Pari sudah mengadukan kejanggalan BPN Jakarta Utara dalam penerbitan sertifikat perusahaan ke Ombudsman.
Mereka juga mempertimbangkan akan memidanakan bos PT Bumi Pari atas intimidasi yang dilakukan.
Adapun Juru Bicara PT Bumi Pari Endang Sofyan mengatakan bahwa warga yang ada di sana sudah mengakui bahwa Pulau Pari dimiliki oleh PT Bumi Pari.
"Somasi itu kami serahkan ke lawyer, karena dia enggak mau damai. Dari dulu mereka sudah mengakui itu tanah punya perusahaan, kami ada data-datanya," kata Endang ketika dihubungi terpisah.
Endang menjelaskan Pulau Pari dulunya dimiliki warga Pulau Tidung. Ahli warisnya memiliki sejumlah surat kepemilikan dan menjualnya per orangan.
Ada sekitar 80 sertifikat per orangan yang terbit. Meski warga mengaku tak mengenal nama dalam sertifikat, Endang memastikan mereka yang memegang sertifikat adalah pemilik aslinya.
PT Bumi Pari kemudian menggabungkan 80 sertifikat itu dalam konsorsium perusahaan.
"Jadi enggak ujug-ujug kita punya, dari dulu sudah punya perusahaan cuma sekarang diopinikan seperti itu. Kalau mereka (warga) punya hak enggak mungkin bisa kami ambil alih ya," ujarnya.
Endang mengatakan pihaknya berencana membangun resor, akuarium, dan tempat pertemuan di Pulau Pari.