JAKARTA, KOMPAS.com - Dualisme kuasa atas ruang ditengarai menjadi penyebab sulitnya Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menata kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Dualisme kuasa atas ruang ini terjadi karena ada pihak-pihak yang "berkuasa" di Tanah Abang, selain Pemprov DKI Jakarta.
"Di tanah abang itu ada dualisme kuasa atas ruang namanya. Dualisme kuasa atas ruang itu adalah ada struktur atau kuasa negara sebagai pemilik aturan di Tanah Abang dan kuasa di luar negara yang ada di Tanah Abang seperti oknum, ormas, yang juga ingin menguasai Tanah Abang," jelas Yayat kepada Kompas.com, Jumat (17/11/2017).
Untuk menata dan menertibkan Tanah Abang, Yayat menyarankan agar Pemprov DKI Jakarta berkolaborasi dengan para penguasa yang ada di sana. Namun, dengan beberapa catatan tertentu.
Baca juga : PKL Berbagi Tips Berbelanja Aman di Tanah Abang
"Bisa menata dengan kolaborasi. Cuma kepentingannya mesti diatur apakah yang selama ini mengambil keuntungan di Tanah Abang, baik organisasi, preman, atau oknum bisa diajak membangun sebuah hubungan kerja berbasis kemitraan atau tidak," imbuh Yayat.
Pemprov DKI Jakarta, lanjut Yayat bisa menempatkan para kelompok tersebut dalam sebuah mekanisme pengelolaan Tanah Abang secara bersama-sama.
Untuk itu, perlu adanya proses seleksi ketat sebelum menempatkan dan melibatkan para kelompok penguasa Tanah Abang untuk menata kawasan tersebut.
"Masalahnya, di sana itu orang-orang enggak mau berbagi keuntungan. Makanya Pemprov DKI ketika ambil alih harusnya membuat model outsourcing bagi mereka yg mengelola parkir, bagi mereka yang mengelola PKL, artinya mengatur persoalan jam waktu dan tempat kegiatan mereka," ungkap Yayat.
Baca juga : Setoran PKL ke Preman Tanah Abang Berbeda pada Hari Biasa dan Libur
Selain itu, Pemprov DKI juga diharapkan Yayat bisa membagi kawasan Tanah Abang ke dalam tiga zona, yakni zona merah, kuning, dan hijau.
Zona merah merupakan tempat yang sama sekali dilarang ada kegiatan, baik itu pedagang kaki lima (PKL), parkir, maupun bongkar muat, sementara zona kuning sebagai tempat dibolehkan adanya kegiatan dengan aturan, sedangkan zona hijau sebagai tempat yang benar-benar diperuntukkan untuk kegiatan.
Pembagian zona itu diyakini Yayat bisa mengurai kesemrawutan yang ada di Tanah Abang selama ini.
"Contohnya PKL dan bongkar muat barang ke pasar. Itu perlu diatur tempatnya di mana, waktunya dari jam berapa ke jam berapa. Terus juga parkirnya, resmi tidak resmi, dan kemudian soal pejalan kakinya," tandas Yayat.
Baca juga : Dualisme Kuasa atas Ruang Sulitkan Pemprov DKI Benahi Tanah Abang