Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Asma Dewi: Mengapa Polisi Langsung Tangkap Tanpa Berkonsultasi?

Kompas.com - 15/01/2018, 20:39 WIB
Nibras Nada Nailufar

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Senin (15/1/2018), kembali menggelar sidang kasus ujaran kebencian dengan terdakwa Asma Dewi yang dituduh sebagai salah satu anggota kelompok Saracen.

Sidang pada Senin sore beragendakan pemeriksaan saksi ahli informasi dan transaksi elektronik (ITE) serta ahli pidana. Namun yang hadir hanya ahli ITE, yaitu Deden Imaduddin Soleh.

Dalam pemeriksaan oleh jaksa penuntut umum (JPU), Deden menjelaskan ia sehari-hari bekerja sebagai analis hukum pada Bagian Hukum di Sekretariat Direktorat Jendral Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika. Deden juga menjadi salah satu analis yang menelurkan UU ITE yang kini menjerat Asma Dewi.

"Kalau didata kepolisian sudah banyak yang dikenakan UU ITE tapi kenapa sekarang marak karena media publik yang memberitakan tentang kasus penerapan UU ITE, salah satunya pasal 28 ayat (2) lebih banyak setelah Pemilu 2014," ujar Deden.

Baca juga : Jaksa Nilai Pengacara Asma Dewi Tak Cermat Baca Dakwaan

Sepanjang persidangan, Deden banyak menjelaskan soal maksud di balik perumusan pasal 28 ayat (2) UU ITE yang mengatur soal kebencian berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Menurut Deden, pasal tersebut berfokus pada dampak ujaran seseorang, alih-alih ungkapan kebencian. Ketika dirancang, pasal itu ditujukan untuk menjaga persatuan dan kerukunan bangsa.

"Yang dikhawatirkan saat pembentukan UU adalah provikasi atau kerusuhan, berkaca pada kasus Ambon yang konflik agama dan Sampit yang konflik suku. Dulu masih hanya sebatas SMS, provokasi akhirnya menyulut permusuhan. Pasal 28 ayat (2) mencegah terjadinya hal tersebut, " kata Deden.

Bukannya membahas soal penafsiran UU ITE, tim kuasa hukum Asma Dewi malah menanyakan ke Deden apakah postingan Asma Dewi termasuk ujaran kebencian berdasarkan SARA sesuai UU ITE. Pertanyaan itu dilontarkan berkali-kali secara bergantian sampai Deden mengatakan kepada hakim bahwa ia sudah menjelaskan kapasitasnya hanya sebagai ahli ITE, bukan ahli bahasa.

Asma Dewi selaku terdakwa juga melontarkan pertanyaan kepada Deden. Hal yang ditanyakan Asma tidak sesuai dengan kapasitas Deden sebagai ahli ITE.

"Dari mana anda bisa tahu apakah ini ujaran kebencian atau bukan, padahal tidak dipanggil terlebih dahulu. Kenapa polisi langsung menangkap tanpa berkonsultasi terlebih dahulu? Jadi rakyat bisa tanya ke siapa batas ujaran kebencian itu?" kata Dewi.

Deden kembali menjawab bahwa hal itu bukan kapasitasnya. "Kalau itu mungkin bisa ditanya ke kepolisian," ujar Deden.

Sejumlah pertanyaan terus diajukan kepada Deden tetapi tidak sesuai dengan kapasitas keahliannya. Hakim kemudian menghentikan sidang menjelang petang. Hakim.meminta agar sidang dilanjutkan Selasa (16/1/2018) besok dengan agenda kembali menghadirkan saksi ahli dari JPU.

Dewi didakwa dengan empat pasal dalam dakwaan alternatif oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Dalam dakwaan alternatif pertama, jaksa menyatakan Asma Dewi dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang dibuat untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan yang dituju dan atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antargolongan (SARA).

Dia didakwa dengan pasal 28 ayat (2) jo pasal 45 ayat (2) UU RI Nomor 11 Tahun 2008 Tentang ITE, sebagai mana diubah dengan UU RI Nomor 19 Tahun 2016.

Dakwaan kedua, menurut jaksa, pada tanggal 21 Juli 2016 dan 22 Juli 2016, Asma Dewi dinyatakan dengan sengaja menumbuhkan kebencian atau rasa benci kepada orang lain berdasarkan diskriminasi ras dan etnis berupa membuat tulisan atau gambar, untuk diletakan, ditempelkan, atau disebarluaskan di tempat umum atau tempat lain yang dapat dilihat atau dibaca orang lain.

Perbuatannya diatur dan diancam pidana dalam pasal 16 juncto Pasal 40 b angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia nomor 40 Tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Dalam dakwaan ketiga, jaksa menyatakan Asma Dewi dimuka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia. Perbuatan terdakwa diatur dan diancam pidana pasal 156 KUHP. 

Selain itu, Asma Dewi didakwa dengan sengaja di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau badan umun yang ada di Indonesia. Perbuatan terdakwa diatur dan diancam pidana dengan pasal 207 KUHP. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Khawatir Tak Lagi Dikenal, Mochtar Mohamad Bakal Pasang 1.000 Baliho untuk Pilkada Bekasi

Khawatir Tak Lagi Dikenal, Mochtar Mohamad Bakal Pasang 1.000 Baliho untuk Pilkada Bekasi

Megapolitan
TikToker Galihloss Akui Bikin Konten Penistaan Agama untuk Hiburan

TikToker Galihloss Akui Bikin Konten Penistaan Agama untuk Hiburan

Megapolitan
Polisi Sita Senpi dan Alat Bantu Seks dari Pria yang Cekoki Remaja hingga Tewas

Polisi Sita Senpi dan Alat Bantu Seks dari Pria yang Cekoki Remaja hingga Tewas

Megapolitan
Kebakaran Agen Gas dan Air di Cinere Depok, Empat Ruangan Hangus

Kebakaran Agen Gas dan Air di Cinere Depok, Empat Ruangan Hangus

Megapolitan
Polisi Tangkap Empat Pebisnis Judi 'Online' di Depok yang Jual Koin Slot lewat 'Live Streaming'

Polisi Tangkap Empat Pebisnis Judi "Online" di Depok yang Jual Koin Slot lewat "Live Streaming"

Megapolitan
Punya Penjaringan Sendiri, PDI-P Belum Jawab Ajakan PAN Usung Dedie Rachim di Pilkada Bogor

Punya Penjaringan Sendiri, PDI-P Belum Jawab Ajakan PAN Usung Dedie Rachim di Pilkada Bogor

Megapolitan
Begini Tampang Dua Pria yang Cekoki Remaja 16 Tahun Pakai Narkoba hingga Tewas

Begini Tampang Dua Pria yang Cekoki Remaja 16 Tahun Pakai Narkoba hingga Tewas

Megapolitan
Kelurahan di DKJ Dapat Kucuran Anggaran 5 Persen dari APBD, Sosialisasi Mulai Mei 2024

Kelurahan di DKJ Dapat Kucuran Anggaran 5 Persen dari APBD, Sosialisasi Mulai Mei 2024

Megapolitan
Diprotes Warga karena Penonaktifan NIK, Petugas: Banyak Program Pemprov DKI Tak Berjalan Mulus karena Tak Tertib

Diprotes Warga karena Penonaktifan NIK, Petugas: Banyak Program Pemprov DKI Tak Berjalan Mulus karena Tak Tertib

Megapolitan
Dua Rumah Kebakaran di Kalideres, Satu Orang Tewas

Dua Rumah Kebakaran di Kalideres, Satu Orang Tewas

Megapolitan
Curhat Pedagang Bawang Merah Kehilangan Pembeli Gara-gara Harga Naik Dua Kali Lipat

Curhat Pedagang Bawang Merah Kehilangan Pembeli Gara-gara Harga Naik Dua Kali Lipat

Megapolitan
PAN Ajak PDI-P Ikut Usung Dedie Rachim Jadi Calon Wali Kota Bogor

PAN Ajak PDI-P Ikut Usung Dedie Rachim Jadi Calon Wali Kota Bogor

Megapolitan
Kelakar Chandrika Chika Saat Dibawa ke BNN Lido: Mau ke Mal, Ada Cinta di Sana...

Kelakar Chandrika Chika Saat Dibawa ke BNN Lido: Mau ke Mal, Ada Cinta di Sana...

Megapolitan
Pemilik Toko Gas di Depok Tewas dalam Kebakaran, Saksi: Langsung Meledak, Enggak Tertolong Lagi

Pemilik Toko Gas di Depok Tewas dalam Kebakaran, Saksi: Langsung Meledak, Enggak Tertolong Lagi

Megapolitan
Sowan ke Markas PDI-P Kota Bogor, PAN Ajak Berkoalisi di Pilkada 2024

Sowan ke Markas PDI-P Kota Bogor, PAN Ajak Berkoalisi di Pilkada 2024

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com