Awalnya, rumah DP Rp 0 menyasar mereka yang paling miskin di Jakarta. Sebab program ini dikampanyekan di kampung-kampung, melawan rusunawa bersubsidi yang digagas petahana saat itu, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.
Dalam perkembangannya, rusun DP Rp 0 membuka peluang warga kelas menengah bisa ikut. Sandiaga menjelaskan, peserta program rusun DP Rp 0 untuk warga berpenghasilan sampai Rp 7 juta per bulan.
Dengan begitu, peluang warga di lapisan paling bawah untuk punya rumah akan sulit terwujud.
"Yang partisipasi harus yang punya pendapatan atau penghasilan tertentu sehingga mereka bisa membayar cicilannya. Ini lagi dihitung ya, ancar-ancarnya antara tujuh sampai sepuluh juta rupiah," kata Sandi pada 12 Juli 2017.
Ketika akhirnya rusun DP Rp 0 berbentuk rusun di Klapa Village, Jakarta Timur, diluncurkan, Direktur Utama PD Pembangunan Sarana Jaya Yoory C Pinontoan mengatakan, calon pembeli harus berpenghasilan Rp 4 juta hingga Rp 7 juta.
"Harus KTP DKI Jakarta dengan penghasilan maksimal Rp 7 juta, (minimalnya) Rp 4 juta," kata Yoory pada 11 Oktober 2018.
Syarat lainnya yakni ber-KTP DKI yang telah tinggal di Jakarta minimal 5 tahun, belum punya rumah sendiri, tidak pernah menerima subsidi rumah, taat membayar pajak, prioritas bagi warga yang telah menikah, dan wajib memiliki rekening Bank DKI.
Kini, ada pula wacana menyediakan rusun DP Rp 0 untuk buruh berpenghasilan minimum.
"Kami juga ingin ada program DP 0 rupiah agar sebagian teman-teman pekerja yang sudah memenuhi kriteria bisa memanfaatkannya," ujar Anies.
Benarkah tanpa DP?
Program rusun DP Rp 0 sempat dikritik lantaran ada wacana pembelinya harus punya tabungan yang dianggap sebagai DP.
"Kami akan bekerja sama dengan perbankan bukan menyiapkan rumahnya, misalnya Bank DKI, kredit rumah mereka (rakyat) bisa dapatkan tanpa bayar DP. Bagaimana? Dengan menabung selama 6 bulan secara konsisten," kata Anies dalam debat Pilkada pada 10 Februari 2017.
Kegaduhan soal program itu berlanjut ketika Bank Indonesia meminta calon kepala daerah lebih bijaksana dalam memberikan janji politik saat kampanye pilkada. BI telah mengeluarkan Peraturan BI Nomor 18 Tahun 2016 tentang Rasion Loan to Value (LTV). Aturan itu mengenai syarat uang muka minimum yang harus disetorkan masyarakat saat mengajukan KPR.
Contohnya, uang muka untuk rumah tapak dan rumah susun seluas 70 meter persegi adalah 15 persen. Sementara untuk rumah tapak dan rumah susun seluas 22 meter persegi sampai dengan 70 meter persegi sebesar 10 persen.
Namun, Deputi Direktur Departemen Kebijakan Makroprudensial BI Sri Noerhidajati menjelaskan, aturan tersebut dikecualikan bila pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, memiliki kebijakan khusus.
Dalam perkembangannya, pihak Pemprov DKI menjelaskan DP pada program itu bukan dihapus atau disubsidi tetapi hanya ditalangi dulu lewat APBD.
Pembayaran uang muka akan masuk ke dalam skema cicilan pembeli rumah. Tuti Kusumawati mengatakan uang muka tidak harus selalu ditalangi Pemprov DKI Jakarta. Pihak bank juga bisa memberikan talangan DP itu.
Pembayaran cicilan unit Rusunami Klapa Village misalnya difasilitasi oleh Bank DKI melalui skema fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP).
"Bila dari bank masih tersedia FLPP, ya mungkin menggunakan FLPP. Kalau seandainya ada permohonan menggunakan APBD, nanti ada prosesnya," kata Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman DKI Jakarta Meli Budiastuti pada 12 Oktober 2018.
Meli menuturkan, Pemprov DKI kemungkinan akan menyediakan dana talangan juga untuk cicilan unit jika dibutuhkan, bukan sekadar uang mukanya.
Bagaimana cicilannya?
Dalam skema KPR umum, semakin besar DP semakin kecil utang yang harus dicicil. Sebaliknya, semakin kecil atau nihil DP, cicilannya akan semakin besar.
Pihak Pemprov DKI mengatakan, walau nihil DP, rusun DP Rp 0 yang ditawarkan itu dipastikan tetap terjangkau.