JAKARTA, KOMPAS.com - Warga korban penggusuran di Petamburan, Jakarta Pusat masih menunggu janji Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta untuk pembayaran uang kompensasi dan pemberian rumah susun sesuai dengan janji sebelum penggusuran pada tahun 1997.
Sambil menunggu pembayaran yang tak kunjung terealisasi itu, 473 kepala keluarga (KK) harus tinggal di permukiman kumuh di sekitar Rusun Petamburan.
Baca juga: Anies Sebut DKI Akan Patuhi Putusan Pengadilan soal Penggusuran Warga Petamburan
Kompas.com menelusuri keberadaan 473 KK tersebut. Untuk menuju tempat mereka tinggal, harus menyusuri jalan tanah setapak dengan kondisi gelap dan pengap.
Salah satu warga Petamburan yang dulunya menjabat sebagai ketua RT 09, Suripto mengatakan, para warga harus hidup di rumah sempit karena mereka tak memiliki biaya untuk menyewa rumah.
"Buat hidup saja sudah pas-pasan, apalagi buat kontrak rumah. Jadi, mereka mencari lahan-lahan kosong untuk bertahan hidup. Mereka hidup seperti ini (di rumah petak) sudah belasan tahun. Ya terhitung sejak rusun ini selesai dibangun pada tahun 2002," kata Suripto, Rabu (16/1/2019).
Suripto mendampingi Kompas.com menyusuri sisi lain kehidupan warga Jakarta itu.
Walaupun tinggal di pusat Ibu Kota, kondisi warga Petamburan di sana sangat memprihatinkan.
Kondisi mereka berbanding terbalik dengan kehidupan warga yang menempati Rusun Petamburan.
Mereka harus tinggal di rumah-rumah petak semipermanen berukuran 4x6 meter.
Ada rumah petak yang dibangun di atas gorong-gorong saluran air, samping rel kereta api, dan lorong tangga Rusun Petamburan.
Rumah petak itu dihuni sekitar 4-5 anggota keluarga. Mereka pun harus tidur secara berdempetan.
Baca juga: DKI Minta Penjelasan Pengadilan soal Ganti Rugi ke Warga Petamburan yang Digusur 22 Tahun Lalu
Bahkan, mereka menggunakan toilet umum secara bergantian. Kondisi toiletnya pun kotor dan tercium aroma tak sedap.
Mereka tak dapat menikmati sinar matahari secara langsung karena rumah lainnya dibangun sangat berdempetan satu sama lain.
Saat hujan turun, jalan setapak pun berubah menjadi jalanan yang becek.
Warga yang membangun rumah di atas gorong-gorong juga mengaku khawatir, tanah rumah mereka akan tergerus oleh air. Namun, mereka tak mempunyai alternatif tempat tinggal lain.
"Saya pengin ya cepat diganti duit. Duit perjuangan. Duit pengganti kontrakan yang digusur dulu. Saya enggak bisa kontrak rumah lagi, yang lain mahal kan. Saya cuma mampu tinggal di rumah seperti ini," ujar warga lainnya yang akrab disapa Ibu Talmi.
Kompas.com terus menelusuri jalan setapak sempit tersebut hingga dekat rel kereta api.
Kondisi serupa juga terlihat di samping rel-rel kereta api. Warga membangun rumah semipermanen yang hanya berjarak sekitar lima meter dari rel kereta api.
Saat kereta rel listrik (KRL) melintas, hempasan angin dari KRL sangat terasa. Kondisi ini sangat membahayakan anak-anak kecil yang tinggal di sekitar rel kereta api itu.
"Orangtuanya ya harus mengawasi terus menerus. Kan KRL lewat setiap 10 menit. Mereka juga enggak bisa tidur dengan tenang kan, KRL lewat kan bikin berisik," kata Suripto.
Baca juga: Pemprov DKI Pastikan Bayar Ganti Rugi ke Warga Petamburan yang Digusur 22 Tahun Lalu
Ada juga rumah yang dibangun di lorong tangga Rusun Petamburan.
Rumah itu dibangun vertikal sehingga harus menunduk saat masuk ke dalamnya. Ketika ada warga yang melintas di atas tangga, getaran terasa di bagian dalam rumah.
Di tengah hiruk pikuk kehidupan Ibu Kota Jakarta, masih ada warga yang membutuhkan perhatian Pemprov DKI.
Warga Petamburan yang jadi korban penggusuran itu bertekad terus berjuang menagih janji Pemprov DKI untuk pembayaran uang ganti rugi.
Diberitakan sebelumnya, sebanyak 473 kepala keluarga (KK) warga RW 009 Pertamburan, Tanah Abang, Jakarta Pusat menuntut Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membayar ganti rugi atas penggusuran yang dilakukan tahun 1997 atau 22 tahun silam.
Kuasa hukum warga dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Charlie Albajili menjelaskan, masalah itu bermula ketika warga digusur untuk pembangunan rusunami di wilayah tersebut tahun 1997.
"Meski demikian, pada pelaksanaannya Pemprov DKI melanggar hukum karena melakukan pembebasan tanah sepihak hingga relokasi yang tertunda 5 tahun karena molornya pembangunan rusunami," kata Charlie dalam siaran persnya, Senin (14/1/2019).
Baca juga: Jelang Musim Hujan, Wali Kota Jakbar Minta Camat Grogol Petamburan Bersihkan Saluran Air
LBH Jakarta bersama-sama dengan warga Petamburan mendesak Pemprov DKI Jakarta segera melaksanakan isi putusan pengadilan dan membayar uang ganti rugi sewa sebesar Rp 4,73 miliar.
Selain itu, Pemprov DKI dituntut memberikan jatah unit rumah susun milik kepada warga Petamburan korban penggusuran 22 tahun lalu itu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.