JAKARTA, KOMPAS.com - Seorang pria paruh baya tampak duduk di antara deretan DVD dengan berbagai judul di ruko kecil di kawasan Senen, Jakarta Pusat, Kamis (14/3/2019).
Ia adalah Danny Mulyana, mantan proyeksionis atau pemutar film dengan proyektor analog di Bioskop Mulia Agung dan Grand Mulia, Senen, Jakarta Pusat.
Sejak bioskop Mulia Agung berhenti beroperasi pada awal tahun 2015, Danny pun beralih profesi sebagai penjual DVD.
Baca juga: Ini Alasan Bioskop Senen Sepi Pengunjung
Kendati demikian, ia masih tinggal di sebuah ruangan berukuran 3x4 meter di dalam bioskop tersebut.
Kepada Kompas.com, Danny menceritakan pertama kali menjadi proyeksionis film di bioskop tersebut pada tahun 2007.
Sebelumnya, ia pernah menjadi seorang proyeksionis film di bioskop di daerah Garut dan Bandung, Jawa Barat.
Baca juga: Menyusuri Gedung Bioskop di Senen yang Gelap dan Mencekam..
"Saya sudah bekerja sebagai proyeksionis sejak tahun 1995. Awalnya saya bekerja di Garut, kemudian sempat pindah ke Bandung. Akhirnya, saya melamar kerja di bioskop Mulia Agung ini," ujar Danny, di Bioskop Senen, Jakarta Pusat, Kamis.
Menjadi proyeksionis, ia bekerja mulai pukul 13.00 hingga 23.00.
Pemutaran film dibagi menjadi lima sesi, mulai pukul 13.00, 15.00, 17.00, 19.00, dan 21.00.
Baca juga: Max Pictures Berencana Bikin Bioskop Keliling agar Dilan 1991 Tayang di Palu
Khusus Sabtu malam, ia mempunyai tugas tambahan untuk memutarkan film pada dini hari.
"Kalau malam minggu itu ada istilahnya midnight saw, artinya ada film yang diputar jam 00.00. Hari-hari lainnya maksimal bekerja sampai 23.00," katanya.
"Walaupun bioskop telah berhenti beroperasi, saya masih diperbolehkan tinggal di sini. Disuruh merawat saja sama pemiliknya, kan, di sini masih ada mobil-mobil milik anaknya Bapak Solehudin (pemilik bioskop). Mereka masih sering datang setiap enam bulan sekali atau tiga bulan sekali," ujar Danny.
Oleh karena itu, ia menyambung hidup dengan berjualan DVD.
Baca juga: Menanti Beroperasinya Bioskop Rakyat di Teluk Gong
"Ya, DVD itu dijual murah hanya Rp 5.000-Rp 10.000. Saya juga tinggalnya sendiri, jadi kerjanya cukup menjual DVD saja," katanya.
Di dalam kamarnya, Danny menyimpan dua proyektor analog film dan tiga roll film berjudul "Jamila dan Sang Presiden", "Benyamin Biang Kerok", dan "Cintaku di Rumah Susun".
Kertas putih ditempel di tembok ruangan yang digunakan sebagai layar pemutar film.
Baca juga: Harapan Pedagang dan Tukang Becak atas Dibukanya Bioskop Rakyat...
Danny mengaku sering memutar film koleksinya ketika merasa bosan.
"Sekalian nostalgia nonton film pakai proyektor. Merawat (proyektor) juga enggak susah kok, cukup dibersihkan saja. Roll filmnya juga cukup diletakkan di ruangan dingin, di sini, kan, sudah ada kipas angin," kata Danny.
"Hanya dengan ini saya mempertahankan kecintaan saya terhadap film dan bioskop," ujarnya.
Baca juga: Bekraf Ajak Investor Bangun Bioskop Rakyat
Sebelumnya ia mempunyai puluhan judul koleksi film di kamarnya tersebut.
Sayangnya, film-film tersebut telah dijual kepada kolektor film.
"Film-film lainnya sudah saya jual kepada kolektor film. Harga jualnya bervariasi sekitar Rp 300.000-Rp 400.000 per film," ujar Danny.
Baca juga: Harga Tiket Bioskop Rakyat di Teluk Gong Tak Lebih dari Rp 25.000
Ia berharap, generasi milenial lebih mengenal sejarah film.
Ia mengaku tak keberatan jika ada anak-anak yang mau menonton film menggunakan proyektor analognya.
Baca juga: Bioskop Rakyat Ditargetkan Dibangun di 3 Pasar Jakarta
"Sekarang, kan, sudah beralih ke digital, semua film bisa ditonton melalui handphone. Kalau ada yang mau menonton film menggunakan proyektor analog ini, ya saya persilakan. Sudah saatnya generasi muda juga mengenal sejarah pemutar film," katanya menutup perbincangan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.