Kabar ini diamini penulis buku "Batavia 1740, Menyisir Jejak Betawi" Windoro Adi. Kepada Kompas, ia mengatakan bahwa ketika terjadi pembantaian, sebagian warga China melarikan diri ke pinggir Batavia, utamanya Tangerang.
Baca juga: Kali Angke dan Tragedi Pembantaian Etnis Tionghoa oleh Belanda
Di sana, mereka membuka perkebunan tebu dan persawahan baru hingga meraih kesuksesan secara finansial. Bisa jadi mereka juga menepi ke Bekasi.
Kalangan Tionghoa "pelarian" itu mencari tempat bersembunyi dari kejaran prajurit Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC).
Mereka lantas mulai membangun kehidupan baru di tempat baru. Salah satunya dengan membangun Klenteng Hok Lay Kiong.
Klenteng terbesar seantero Kota Bekasi ini konon paling tua juga se-Bekasi. Jejak usianya diterka dari ukiran "1818" di salah satu kayu altar yang kini hilang entah ke mana.
Dengan usia setua itu, wajar jika tak ada segregasi primordial antara etnis Tionghoa maupun pribumi, antara kalangan muslim dan nonmuslim di sekitar Hok Lay Kiong.
Semuanya berbaur, lahir, dan besar bersama Hok Lay Kiong, berikut segala macam tradisinya.
"Saya asli orang sini, asli Bekasinya. Memang berbaur semuanya, mau Tionghoa atau pribumi, sudah bermasyarakat semua," ujar Bok Liang (50), salah satu petugas Klenteng Hok Lay Kiong kepada Kompas.com, Rabu.
Abdul adalah salah satu orang yang menyaksikan, juga mengalami, segala tradisi etnis Tionghoa di Hok Lay Kiong meskipun secara lahiriah ia beretnis Jawa dan beragama Islam sejak orok.
Toh, semuanya berlangsung sentosa. Abdul, juga warga sekitar Hok Lay Kiong, tak ampuh diserang dikotomi pribumi-nonpribumi, muslim-nonmuslim. Di antara mereka, tak pernah termuat purbasangka, atau tercuat kebencian, sama sekali.
Abdul kini memasuki tahun ke-20 bekerja di Hok Lay Kiong. Jelang dua dekadenya bertugas di sini, ia mengenang awal mula terpincut dengan klenteng dan tradisi Tionghoa, termasuk serba-serbi kepercayaan Tridharma.
"Awal gabung di sini, dulu ada barongsai waktu umur saya masih muda. Saya ikut main barongsai hampir setahun," tutur Abdul.
"Akhirnya saya tertarik buat ikut di klenteng ini, bantu-bantu bebersih. Saya serius ini, saya enggak diajak siapa-siapa. Saya mau sendiri karena waktu itu kebetulan suka sama barongsai," lanjut dia.
Baca juga: Rayakan Imlek, Pemprov DKI Gelar Festival Makanan Tionghoa hingga Pertunjukan Barongsai
Saban hari, Abdul mengerahkan apa pun yang bisa ia lakukan buat klenteng. Bebersih area ibadah adalah makanan sehari-hari yang ia santap sejak belia hingga hari ini.
Kemudian, mulai 2003, Abdul diamanatkan peran krusial sebagai pencatat identitas ratusan lilin-lilin raksasa yang berdatangan ke Hok Lay Kiong jelang Imlek.