Hingga umur kepala enam, Misna masih terus mencari nafkah. Tanggung jawab sebagai seorang kepala keluarga terus ia pikul.
Ia masih berpikir tentang kehidupan anaknya yang belum stabil secara ekonomi. Anaknya ada yang bekerja sebagai kuli bangunan, pembuat kusen kayu, dan paling bontot bekerja di puskesmas.
“Ya kerja karena masih banyak yang dibutuhkan. Lihat anak masih begitu. Masih repot ngurus rumah tangga,” ujar Misna.
Tak seperti orang lain, Misna bisa saja tinggal hanya menikmati hari tuanya dan bermain bersama sembilan cucunya di kampung halaman.
Namun, ia memilih untuk tetap berjualan gorengan. Tinggal di kampung halaman pun ia tak tega dengan anaknya.
"Saya masih pingin usaha, kalau sama anak kan enggak bebas. Saya ga tega sama anak. Penghasilan anak-anak juga saya tahu belum stabil,” tambahnya.
Baca juga: Warga Galang Dana buat Pedagang Gorengan Kehilangan Sepeda Motor
Misna menyebutkan, sampai umurnya saat ini, ia belum mendapatkan uang yang rutin dikirim setiap bulan. Anak-anaknya kadang patungan untuk mengirimkan uang untuk Misna dan istrinya di Jakarta sekitar Rp200.000-Rp300.000.
“Makanya saya semangat kerja. Saya sayang sama anak. Apalagi sama cucu,” kata Misna.
Setiap bulan ia bisa mengirimkan uang Rp100.000-Rp200.000 untuk anaknya. Tak semua ia kirimkan. Misna bilang, “Saya kirim gantian.”
Ia kini terus bertahan hidup dengan menjual gorengan. Misna lebih memilih terus berjualan ketimbang harus menganggur.
Meski hanya punya pengalaman berjualan gorengan, Misna punya mimpi untuk berjualan makanan lainnya. Ia ingin mengontrak sebuah tempat untuk berjualan makanan sehari-hari seperti soto dan empal gentong, kuliner khas Cirebon yang kerap diburu wisatawan.
“Ya sambil jualan gorengan tetep di depannya,” khayal Misna sambil tertawa.
Hari Rabu (19/8/2020) sekitar pukul 20.00 WIB, handphone Nokia jadulnya berdering. Keponakannya menelpon untuk mengabarkan akan menjemput Misna.
Stok gorengannya malam itu tinggal sedikit. Seorang perempuan kemudian memborong sisa gorengannya sekitar Rp10.000 untuk gorengan lebih dari 10 buah.
Namun, keadaan ludesnya gorengan tak setiap hari Misna rasakan. Lima bulan terakhir, omsetnya turun drastis akibat pandemi Covid-19. Karena itu, ia tak bisa membayar sewa kontrakan dan cicilan utangnya selama tiga bulan.
Tabungan yang biasa ia sisihkan untuk anaknya pun tak ada. Biasanya ia bisa mengirimkan uang ke empat anaknya secara bergantian sebanyak Rp100.000-Rp300.000.
“Selama enam bulan ini ga punya duit. Cuma cukup buat makan aja. Itu cuma pas buat modal aja. Kadang nombok. Buat belanja kurang. Gara-gara Covid-19, lima bulan ini ya sepi,” ujar Misna.
Ia optimistis, hasil penjualan gorengan bisa mencukupi meskipun rasanya tak mungkin. Misna punya cicilan utang di bank dan uang kontrakannya Rp800.000 per bulan.
“Kalau urusan makan kan, gimana kita ngaturnya,” pungkas Misna.
Jiwa dermawan Misna pun tak luntur meski ia dalam keadaan sulit. Ia dikenal sebagai sosok yang suka berbagi.
Ia suka memberikan bonus gorengan kepada pembelinya. Misna berdalih hanya agar jualannya cepat habis.
Warga sekitar lapak Misna, Abidin (52) mengenal Misna sebagai sosok yang suka berbagi. Misna suka berbagi gorengan kepada warga sekitar.
“Pak Misna sudah seperti keluarga buat orang-orang sini,” ujarnya.
Misna bercerita gorengannya suka ia berikan ke tetangga dan tukang rongsok yang ditemuinya di jalan.