"Agar Ibu Kota kita ini tidak kelihatan kotor, tidak jorok, itulah yang kemudian menjadi policy saya untuk memindahkan wanita "P" dari Senen, dari daerah Kramat Raya yang berseliweran dengan kupu-kupu malam itu, ke Kramat Tunggak," kata Ali Sadikin dalam buku Ali Sadikin Membenahi Jakarta Menjadi Kota yang Manusiawi.
Kramat Tunggak kemudian ditetapkan sebagai lokalisasi melalui Surat Keputusan (SK) Gubernur DKI Jakarta No. Ca.7/I/13/1970 per tanggal 27 April 1970 tentang Pelaksanaan Usaha Lokalisasi/Relokasi Wanita Tuna Susila.
Namun, keputusan Ali untuk melokalisasi wanita "P" ke Kramat Tunggak sempat ditentang oleh Kesatuan Aksi Wanita Indonesia (KAWI).
Delegasi Presidium KAWI Pusat pun sempat menemui Ali.
Baca juga: Wajib Tahu, 7 Pembatasan yang Dilakukan di Jakarta untuk Tekan Covid-19
“Mereka mengartikan pikiran dan tindakan saya itu sebagai memperbolehkan eksploitasi manusia atas manusia, merendahkan derajat wanita, dan menjauhkan kemungkinan rehabilitasi bagi wanita yang sadar,” tutur Ali.
Delegasi KAWI mengajak Ali untuk sama-sama mengurangi jumlah wanita “P” dan meningkatkan sanksi untuk menindak germo-germo yang menjadi biang meluasnya pelacuran.
Ali pun membentuk panitia kecil untuk mengatasi pelacuran itu dengan melibatkan KAWI sebagai panitia. Menurut Ali, buah pikiran KAWI mesti ditampung.
Ali juga melibatkan KAWI agar mereka menyaksikan keadaan sebenarnya dan mengatasi persoalan sesungguhnya.
“Setelah panitia kecil bekerja, kesimpulan saya, tetap menanggulanginya tepat dengan melokalisasi mereka, melokalisasi kan berarti mempersempit gerak mereka dan dengan demikian akan terbina apa yang diharapkan sebagai ‘menghapuskan pemandangan kurang sedap’ di tepi-tepi jalan,” kata Ali.
Ali menyatakan, saat itu, tidak mudah menyelesaikan masalah wanita tunasusila. Menurutnya, masyarakat lebih gampang untuk membicarakannya daripada menolong mereka.
Baca juga: Tekan Penyebaran Covid-19 di Jakarta, Polri Sekat 10 Titik Jalan hingga Pembatasan Transportasi