SETELAH vakum selama dua tahun akibat pagebluk Covid-19, Jakarta Fair Kemayoran atau Pekan Raya Jakarta kembali digelar di Jakarta International Expo di Kemayoran, Jakarta Pusat.
Pesta tahunan warga Ibu Kota ini dihadiri oleh ribuan orang dari berbagai sudut kota untuk merayakan ulang tahun ke-495 Jakarta.
Mereka datang tidak hanya untuk berbelanja pakaian, menikmati wahana bermain dan menyaksikan pertunjukan musik, tetapi juga mencicipi kelezatan kuliner Nusantara, seperti asinan, kerak telur, dan taoge goreng.
Begitu memasuki area Jakarta International Expo, mata saya langsung tertuju pada deretan pedagang taoge goreng di dekat wahana bermain bagi anak-anak. Taoge goreng tidak asing di telinga saya, tetapi saya belum pernah mencicipinya.
Di daerah asal saya, Bondowoso, kota kecil di Jawa Timur, taoge tidak digoreng, tetapi biasanya direbus atau ditumis untuk dijadikan sayur.
Ketika melihat taoge goreng dari dekat, saya cukup terkejut. Taogenya ternyata tidak digoreng, tapi direbus.
Taoge rebus ini kemudian dicampur dengan mi dan potongan ketupat. Setelah itu, bumbu taoco disiram di atasnya.
Rasanya unik seperti namanya. Karena penasaran, saya bertanya ke penjualnya; “Bang, kenapa namanya taoge goreng? Kenapa bukan taoge rebus?”
Penjualnya menjawab; “Saya juga tidak tahu kenapa namanya taoge goreng.”
Saya meyakini bahwa pasti ada cerita menarik di balik penamaan taoge goreng dan ada aspek sejarah dan budaya di balik cerita tersebut.
Sejarah dan budaya kuliner Nusantara tentu bisa saya temukan dengan mudah di mesin pencari Google, tetapi belajar langsung dari pedagangnya akan memberi pengalaman belajar yang berbeda dengan belajar dari buku atau internet.
Pengalaman belajar sejarah dan budaya kuliner Nusantara pasti akan terasa lebih seru apabila pedagang atau pengusaha kulinernya bisa menyampaikan ilmunya secara langsung karena sebagai orang yang betul-betul berkecimpung di industri ini selama bertahun-tahun.
Mereka seharusnya tahu nilai sejarah dan budaya dari produk kulinernya, termasuk betul-betul memahami proses produksinya dari hulu ke hilir.
Fakta bahwa Indonesia adalah surga kuliner telah diakui tidak hanya di dalam tetapi juga di luar negeri.
Namun, sejarah dan budaya dari produk-produk kuliner Nusantara sayangnya belum diketahui banyak orang sehingga narasinya juga sering tidak diceritakan dan disosialisasikan.
Padahal, narasi adalah elemen penting dalam diplomasi budaya untuk memperkenalkan dan membawa keanekaragaman kuliner Indonesia ke tingkat global.
Diplomasi budaya merupakan bagian dari diplomasi publik yang bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk warga negara biasa seperti pedagang makanan atau pengusaha kuliner.
Diplomasi publik pertama kali diperkenalkan oleh Edmund Gullion pada tahun 1965. Diplomat asal Amerika Serikat ini mendefinisikan diplomasi publik sebagai diplomasi yang dilakukan oleh masyarakat melalui cara-cara yang menyenangkan untuk memengaruhi opini publik dan membentuk citra positif tentang lembaga yang menaunginya.
Diplomasi publik bertujuan membentuk persepsi yang baik tentang kegiatan atau tindakan suatu negara, baik di level domestik maupun internasional.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.