Satu unit backhoe baru didatangkan ke lokasi penertiban permukiman warga, untuk menggantikan backhoe yang sebelumnya sudah dibakar warga.
Ratusan warga sekitar hanya menyaksikan proses penghancuran rumah-rumah tersebut.
Baca juga: Satu Per Satu Rumah Warga Kampung Pulo Dirobohkan
Penghancuran permukiman tersebut dimulai dari area jembatan Jalan Jainegara Barat. Tidak jauh dari unit ekskavator yang sebelumnya dibakar warga.
"Akhirnya dihancurkan juga, ngeri saya tadi melihat rusuh-rusuhnya," kata Murni, salah satu warga yang tinggal di sisi lain jalan Jatinegara Barat.
Meski tak ada lagi perlawanan dari warga, regu polisi membuat pagar betis di akses gang permukiman yang sedang dibongkar oleh alat tersebut.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang saat itu dipimpin Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama memilih menggusur pemukiman liar di Kampung Pulo untuk normalisasi Kali Ciliwung.
Normalisasi diharapkan bisa menjadi solusi atas banjir yang kerap melanda kawasan tersebut. Namun untuk melakukan normalisasi, maka bangunan yang berdiri di bantaran kali harus digusur.
Gubernur Basuki alias Ahok pun mengaku tak terkejut saat mengetahui adanya bentrokan antar warga Kampung Pulo dan aparat.
Baca juga: Pemerintah Tak Mau Ganti Rugi karena Kampung Pulo Tanah Negara
Ia menegaskan, penertiban pemukiman liar 500 kepala keluarga (KK) Kampung Pulo tetap harus dilaksanakan meski ada perlawanan dari warga.
"Mau tidak mau harus jalan. Pasti ribut. Enggak ada pilihan," kata Ahok.
Ahok pun saat itu tegas tidak akan memenuhi tuntutan warga untuk membayar uang kerahiman atau ganti rugi.
Sebab, Pemprov DKI sudah menyediakan pengganti rumah bagi mereka, yakni unit rumah susun sederhana sewa (rusunawa) di Jatinegara Barat dengan biaya sewa Rp 300.000 per bulan.
Sosiolog Universitas Indonesia, Tamrin Amal Tomagola, menilai wajar warga Kampung Pulo menolak penggusuran hingga melawan aparat.