Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Klaim Teddy Minahasa Jadi Korban "Perang Bintang" Polri dalam Kasus Narkoba...

Kompas.com - 29/04/2023, 10:14 WIB
Tria Sutrisna,
Diamanty Meiliana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Irjen Teddy Minahasa menolak replik jaksa penuntut umum (JPU) atas nota pembelaannya dalam kasus peredaran narkoba jenis sabu-sabu.

Eks Kapolda Sumatera Barat itu mengaku menjadi korban dalam persaingan tidak sehat para petinggi atau "Perang Bintang" yang terjadi di tubuh Polri.

Alhasil, ia sengaja diseret dan dijerat dalam kasus peredaran narkoba tersebut.

Di hadapan majelis hakim, Teddy menyebut bahwa kasusnya diwarnai perintah dan tekanan para pimpinan berpangkat jenderal di institusi Polri.

Baca juga: Soal Tudingan Perang Bintang, Hotman Paris: Tanya ke Teddy Minahasa

"Situasi ini mengisyaratkan ada tekanan atau desakan dari pimpinan agar saya terseret dalam kasus ini. Karena itu patutlah saya menarik suatu kesimpulan bahwa di internal Polri telah terjadi persaingan yang tidak sehat," ujar Teddy di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Jumat (28/4/2023).

"Atau adanya nuansa perang bintang sebagaimana dilansir oleh berbagai media massa arus utama pada beberapa waktu yang lalu," sambungnya.

Perintah dan tekanan pimpinan Polri

Teddy menerangkan bahwa hal tersebut dia ketahui dari Direktur Reserse Narkoba Polda Metro Jaya yang kala itu dijabar Brigjen Mukti Juharsa dan wakilnya AKBP Dony Alexander.

"Dirresnarkoba dan Wadirresnarkoba Polda Metro Jaya Bapak Mukti Juarsa dan Dony Alexander (mengatakan) kepada saya 'mohon maaf jenderal, kami mohon ampun, semua ini karena perintah pimpinan'," kata Teddy.

Pernyataan itu, kata Teddy, disampaikan Mukti dan Dony ketika penangkapan pada 24 Oktober 2022 dan 4 November 2022 saat pemeriksaan.

Kala itu, Mukti dan dan Dony disebut memperlihatkan ekspresi serba salah ketika mengusut keterlibatannya dalam pusaran kasus sabu-sabu.

Baca juga: Ditanya Soal Persiapan Sidang Vonis, Teddy Minahasa: Enggak Boleh Dibuka

Selain itu, Teddy juga melihat gelagat jaksa penuntut umum (JPU) yang mengisyaratkan ada pesanan supaya dia dituntut hukuman mati.

"Jaksa penuntut umum telah beratraksi secara akrobatik di dalam konteks hukum ini untuk mengawal agar perintah dari pimpinan penyidik tadi berlangsung atau berproses tanpa hambatan. Dan pesanan atau industri hukum tersebut sekarang sudah paripurna," tutur Teddy.

Sebut jaksa tunaempati

Teddy pun menyebut JPU sebagai "tunaempati" karena menuntutnya dengan hukuman mati, dan mengenyampingkan prestasi serta jasanya untuk institusi Polri.

Padahal, kata Teddy, untuk mendapatkan kenaikan pangkat, setiap anggota kepolisian harus memiliki prestasi, jasa pengabdian, dan penghargaan.

"Ketika saya menjelaskan tentang penghargaan dan jasa-jasa yang saya terima, sebagaimana pertanyaan dari majelis hakim Yang Mulia, malah dibilang hanya untuk 'pencitraan pribadi'," ujar Teddy.

Halaman:


Terkini Lainnya

Jawab Kritikan Ahok Soal Penonaktifan NIK KTP, Heru Budi : Pemprov DKI Hanya Menegakkan Aturan

Jawab Kritikan Ahok Soal Penonaktifan NIK KTP, Heru Budi : Pemprov DKI Hanya Menegakkan Aturan

Megapolitan
Paus Fransiskus ke Indonesia September 2024, KWI: Bawa Pesan Persaudaraan Umat Manusia

Paus Fransiskus ke Indonesia September 2024, KWI: Bawa Pesan Persaudaraan Umat Manusia

Megapolitan
Diterima Jadi Polisi, Casis Bintara Korban Begal: Awalnya Berpikir Saya Gagal

Diterima Jadi Polisi, Casis Bintara Korban Begal: Awalnya Berpikir Saya Gagal

Megapolitan
Polisi Kantongi Identitas Pengemudi Fortuner yang Halangi Laju Ambulans di Depok

Polisi Kantongi Identitas Pengemudi Fortuner yang Halangi Laju Ambulans di Depok

Megapolitan
Dapat Ganti Untung Normalisasi Ciliwung, Warga Rawajati Langsung Beli Rumah Baru

Dapat Ganti Untung Normalisasi Ciliwung, Warga Rawajati Langsung Beli Rumah Baru

Megapolitan
Tak Gentarnya Jukir Liar di Minimarket, Masih Nekat Beroperasi meski Baru Ditertibkan

Tak Gentarnya Jukir Liar di Minimarket, Masih Nekat Beroperasi meski Baru Ditertibkan

Megapolitan
Kilas Balik Kasus Pembunuhan Vina Cirebon, Kronologi hingga Rekayasa Kematian

Kilas Balik Kasus Pembunuhan Vina Cirebon, Kronologi hingga Rekayasa Kematian

Megapolitan
Dikritik Ahok soal Penonaktifan NIK KTP Warga Jakarta, Heru Budi Buka Suara

Dikritik Ahok soal Penonaktifan NIK KTP Warga Jakarta, Heru Budi Buka Suara

Megapolitan
Walkot Depok Terbitkan Aturan Soal 'Study Tour', Minta Kegiatan Dilaksanakan di Dalam Kota

Walkot Depok Terbitkan Aturan Soal "Study Tour", Minta Kegiatan Dilaksanakan di Dalam Kota

Megapolitan
Rumahnya Digusur Imbas Normalisasi Kali Ciliwung, Warga: Kita Ikut Aturan Pemerintah Saja

Rumahnya Digusur Imbas Normalisasi Kali Ciliwung, Warga: Kita Ikut Aturan Pemerintah Saja

Megapolitan
KPU Kota Bogor Lantik 30 Anggota PPK untuk Kawal Pilkada 2024

KPU Kota Bogor Lantik 30 Anggota PPK untuk Kawal Pilkada 2024

Megapolitan
Mau Bikin 'Pulau Sampah', Heru Budi: Sampah Sudah Enggak Bisa Dikelola di Lahan Daratan

Mau Bikin "Pulau Sampah", Heru Budi: Sampah Sudah Enggak Bisa Dikelola di Lahan Daratan

Megapolitan
Polri Gerebek Gudang Penyelundupan 91.246 Benih Bening Lobster di Bogor

Polri Gerebek Gudang Penyelundupan 91.246 Benih Bening Lobster di Bogor

Megapolitan
Walkot Jaksel: Warga Rawajati yang Terdampak Normalisasi Ciliwung Tidak Ada yang Protes

Walkot Jaksel: Warga Rawajati yang Terdampak Normalisasi Ciliwung Tidak Ada yang Protes

Megapolitan
4 Pelaku Sudah Ditangkap, Mobil Curian di Tajur Bogor Belum Ditemukan

4 Pelaku Sudah Ditangkap, Mobil Curian di Tajur Bogor Belum Ditemukan

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com