JAKARTA, KOMPAS.com - Irjen Teddy Minahasa menolak replik jaksa penuntut umum (JPU) atas nota pembelaannya dalam kasus peredaran narkoba jenis sabu-sabu.
Eks Kapolda Sumatera Barat itu mengaku menjadi korban dalam persaingan tidak sehat para petinggi atau "Perang Bintang" yang terjadi di tubuh Polri.
Alhasil, ia sengaja diseret dan dijerat dalam kasus peredaran narkoba tersebut.
Di hadapan majelis hakim, Teddy menyebut bahwa kasusnya diwarnai perintah dan tekanan para pimpinan berpangkat jenderal di institusi Polri.
Baca juga: Soal Tudingan Perang Bintang, Hotman Paris: Tanya ke Teddy Minahasa
"Situasi ini mengisyaratkan ada tekanan atau desakan dari pimpinan agar saya terseret dalam kasus ini. Karena itu patutlah saya menarik suatu kesimpulan bahwa di internal Polri telah terjadi persaingan yang tidak sehat," ujar Teddy di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Jumat (28/4/2023).
"Atau adanya nuansa perang bintang sebagaimana dilansir oleh berbagai media massa arus utama pada beberapa waktu yang lalu," sambungnya.
Teddy menerangkan bahwa hal tersebut dia ketahui dari Direktur Reserse Narkoba Polda Metro Jaya yang kala itu dijabar Brigjen Mukti Juharsa dan wakilnya AKBP Dony Alexander.
"Dirresnarkoba dan Wadirresnarkoba Polda Metro Jaya Bapak Mukti Juarsa dan Dony Alexander (mengatakan) kepada saya 'mohon maaf jenderal, kami mohon ampun, semua ini karena perintah pimpinan'," kata Teddy.
Pernyataan itu, kata Teddy, disampaikan Mukti dan Dony ketika penangkapan pada 24 Oktober 2022 dan 4 November 2022 saat pemeriksaan.
Kala itu, Mukti dan dan Dony disebut memperlihatkan ekspresi serba salah ketika mengusut keterlibatannya dalam pusaran kasus sabu-sabu.
Baca juga: Ditanya Soal Persiapan Sidang Vonis, Teddy Minahasa: Enggak Boleh Dibuka
Selain itu, Teddy juga melihat gelagat jaksa penuntut umum (JPU) yang mengisyaratkan ada pesanan supaya dia dituntut hukuman mati.
"Jaksa penuntut umum telah beratraksi secara akrobatik di dalam konteks hukum ini untuk mengawal agar perintah dari pimpinan penyidik tadi berlangsung atau berproses tanpa hambatan. Dan pesanan atau industri hukum tersebut sekarang sudah paripurna," tutur Teddy.
Teddy pun menyebut JPU sebagai "tunaempati" karena menuntutnya dengan hukuman mati, dan mengenyampingkan prestasi serta jasanya untuk institusi Polri.
Padahal, kata Teddy, untuk mendapatkan kenaikan pangkat, setiap anggota kepolisian harus memiliki prestasi, jasa pengabdian, dan penghargaan.
"Ketika saya menjelaskan tentang penghargaan dan jasa-jasa yang saya terima, sebagaimana pertanyaan dari majelis hakim Yang Mulia, malah dibilang hanya untuk 'pencitraan pribadi'," ujar Teddy.
"Patutlah saya menyimpulkan bahwa jaksa penuntut umum penyandang tunaempati dan hanya memiliki syahwat serta ambisi untuk menjebloskan saya," sambung dia.
Teddy mengeklaim bahwa dia bisa mencapai pangkat Inspektur Jenderal (Irjen) atau jenderal bintang dua, bukan tanpa prestasi dan pengabdian sama sekali.
Baca juga: Sidang Vonis Kasus Peredaran Narkoba Teddy Minahasa Bakal Digelar 9 Mei 2023 Mendatang
Jenjang kepangkatan itu dinilai berdasarkan kinerja setiap personel. Karena itu, Teddy menganggap penilaian jaksa terhadap prestasinya yang disebut hanya pencitraan tidaklah adil.
"Namun, dari persepsi jaksa penuntut umum ini semakin menguatkan tesis bahwa saya memang dibidik untuk dibinasakan dan pesanan serta konspirasi itu benar-benar nyata dalam kasus ini," jelas Teddy.
Adapun Teddy Minahasa diketahui dituntut hukuman mati oleh jaksa penuntut umum dalam kasus peredaran narkoba.
JPU menilai Teddy terbukti bersalah sebagaimana diatur dalam Pasal 114 Ayat 2 subsider Pasal 112 Ayat 2, juncto Pasal 132 Ayat 1 juncto Pasal 55 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Menurut jaksa dalam dakwaannya, Teddy terbukti bekerja sama dengan AKBP Dody Prawiranegara, Syamsul Maarif, dan Linda Pujiastuti (Anita) untuk menawarkan, membeli, menjual, dan menjadi perantara penyebaran narkotika.
Narkotika yang dijual itu merupakan hasil penyelundupan barang sitaan seberat lebih dari 5 kilogram.
Dalam persidangan terungkap bahwa Teddy Minahasa meminta AKBP Dody mengambil sabu itu lalu menggantinya dengan tawas.
Awalnya, Dody sempat menolak. Namun, pada akhirnya Dody menyanggupi permintaan Teddy Minahasa. Dody kemudian memberikan sabu tersebut kepada Linda.
Setelah itu, Linda menyerahkan sabu tersebut kepada Kasranto untuk kemudian dijual kepada bandar narkoba.
Total, ada 11 orang yang diduga terlibat dalam peredaran narkoba ini, termasuk Teddy Minahasa.
Sementara itu, 10 orang lainnya adalah Hendra, Aril Firmansyah, Aipda Achmad Darmawan, Mai Siska, Kompol Kasranto, Aiptu Janto Situmorang, Linda Pujiastuti, Syamsul Ma'arif, Muhamad Nasir, dan AKBP Dody Prawiranegara.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.