Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 14/08/2020, 06:59 WIB
Vitorio Mantalean,
Irfan Maullana

Tim Redaksi

DEPOK, KOMPAS.com – “Dari awal PSBB juga sudah begini. Walaupun sekarang sempat jadi zona merah, kagak ada bedanya, tetap slow,” demikian Adityo (31), membuka obrolan tentang situasi Kota Depok, Jawa Barat, tempat tinggalnya di tengah pandemi Covid-19.

Warga Sawangan ini mengaku jarang ke luar rumah. Namun, sekalinya ia ke luar untuk beli makan, bulu kuduknya merinding, ngeri, kala menyaksikan warga banyak yang abai akan protokol kesehatan.

"Tapi, yang kelihatan di luar, warga banyak yang abai. Yang bikin ngeri keluar kalau di Depok, ya itu, orang-orangnya abai,” ucap dia.

Pandemi sama sekali tidak mereda di Depok. Walau begitu, banyak warga menjalani aktivitas seakan wabah tersebut hanya sebaris dongeng yang didengungkan jelang tidur.

Suatu waktu, lanjut Adityo, ia menepikan motor di depan gerobak batagor yang berjejeran dengan aneka gerobak-gerobak jajanan kaki lima lain di bilangan Pancoran Mas. Lapar, katanya.

Di situ, motornya berhadapan dengan motor lain. Dua remaja tanggung duduk di atas jok motor itu. Mereka sama-sama menanti tukang batagor menyuguhkan pesanan mereka.

Baca juga: Tak Bisa Batasi Pergerakan Warga, Pemkot Depok Minta Hal Ini Diterapkan di Rumah

Kedua remaja tersebut tak bermasker. Adityo penasaran, hingga ia akhirnya bertanya.

Kenapa enggak pakai masker?” tanya Adityo.

Ngapain?” jawab salah satunya.

“Punya masker enggak?”

“Nggak punya. Orang enggak ada (virus) corona, mah.”

Adityo mesam-mesem ditanggapi begitu. Ia lantas mengalamatkan pertanyaan yang sama kepada tukang batagor, yang ternyata wajahnya juga telanjang tanpa masker.

“Aduh, sumpek, Mas,” begitu jawaban yang mendarat di telinga Adityo.

Di Depok, warga tak bermasker bukan pemandangan yang aneh. Entah mengapa, selembar masker yang berperan krusial mengurangi penularan virus corona melalui percikan liur, justru dianggap seperti atribut yang merepotkan.

Baca juga: Penyintas Covid-19 Sebut Mereka yang Abai Protokol Kesehatan sebagai Orang Arogan

“PKL jualan di pinggir jalan, ketemu teman-temannya, ya biasa saja. Di Sukmajaya ada warkop depan Domino’s Pizza, ojek bergerombol di sana. Maskernya dilepas, dikantongi. Daerah Cimanggis arah ke Cibubur juga, orang-orang situ jarang banget keluar pakai masker. Kalau saya curi dengar, mereka bilang alasannya kayak pakai helm, ‘kan cuma dekat rumah, enggak ada polisi juga’,” ungkap Wicaksono (27), salah satu warga Tapos.

“Waktu itu saya datang ke rumah teman di Kelurahan Curug, tetangganya ada yang menggelar pernikahan. Pas saya ke sana, itu dangdutan mulai dari pagi sampai malam. Di kelurahan itu ada mobil Satpol PP, tiga mobil. Ngapain ada Satpol PP tapi enggak dibubarin?”

“Carut-marut banget, sih, Depok,” ujar Wicaksono, seakan tengah merangkum situasi kota tempatnya tinggal dalam beberapa kata.

Kota Depok merupakan tempat pertama kalinya kasus Covid-19 ditemukan di Indonesia pada 2 Maret 2020 lalu. Kala itu, seantero Depok heboh.

Masker, apa pun jenis dan bentuknya, diserbu hingga ludes dalam hitungan hari. Warga Depok berbondong-bondong menyerbu lokasi mana pun yang menyediakan masker.

Baca juga: BREAKING NEWS: Jokowi Umumkan Dua Orang di Indonesia Positif Corona

Begitu pun dengan hand sanitizer. Penjualan tisu basah pun sempat ketiban pulung karena terkurasnya stok hand sanitizer di banyak gerai. Beberapa ritel sampai harus mengendalikan arus pembeli yang begitu deras.

Harga empon-empon, bahan jamu yang diyakini mampu memperkuat kekebalan tubuh, langsung meroket sebab stoknya lekas habis. Bahkan, pedagang minuman jahe gerobakan bisa pulang lebih awal lantaran dagangannya sudah laris sebelum tengah malam.

Di rumah, warga Depok ramai-ramai menimbun persediaan temulawak dan jenis tanaman rimpang lain, jaga-jaga bila stoknya habis di pasaran, walaupun mereka sendiri yang membuatnya kian cepat habis.

Semua potret itu terjadi ketika Kota Depok baru mencatat tiga kasus Covid-19. Hari ini, kasus Covid-19 di Depok sudah tembus 1.500, tepatnya 1.516 kasus. Tertinggi seantero Jawa Barat.

Namun, torehan ini tampaknya belum cukup untuk membangunkan sebagian warga Depok dari mimpi panjang mereka bahwa virus corona tak berbahaya.

Baca juga: [UPDATE] Grafik Covid-19 13 Agustus di Depok: Jumlah Kasus Positif Tembus 1.500, OTG Melonjak

Padahal, angka kematian berkaitan dengan Covid-19 di Depok diperkirakan sudah hampir mencapai 200 korban jiwa, baik pasien positif Covid-19 maupun pasien dalam pengawasan (PDP).

Tes PCR sangat sedikit

Kota Depok menjadi kota dengan laporan kasus Covid-19 dan pasien meninggal terbanyak di Jawa Barat. Celakanya, “rekor” itu pun ditoreh hanya dengan jumlah pemeriksaan yang sangat minim.

Data harian pemeriksaan Covid-19 berbasis PCR tak pernah dibuka oleh Pemerintah Kota Depok kepada publik, sekalipun beberapa kali diminta oleh wartawan.

Kemarin, Kamis (13/8/2020), justru Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian yang menelanjangi rasio pemeriksaan Covid-19 berbasis PCR di Depok. Ternyata, jumlahnya sangat kecil.

Baca juga: Rasio Tes Covid-19 Sangat Rendah, Tito Karnavian Tegur Wali Kota Depok

Tito bahkan menegur langsung Wali Kota Depok, Mohammad Idris yang mengeklaim ada kemajuan dalam penanggulangan Covid-19 di wilayahnya.

"Nanti dulu, saya mau tanya, sampelnya berapa, 6.578, betul ya, Pak? Sebanyak 6.578 (tes) dari 2 juta (penduduk), ketemunya 0,03 persen. Artinya yang di-sampling, yang diperiksa 0,03 persen, rendah sekali. Itu belum menggambarkan populasi," ujar Tito.

Maksud Tito, Kota Depok hanya melakukan 6.578 pemeriksaan Covid-19 dari total sekitar 2,4 juta penduduk. Jika dirata-rata, jumlah tes hanya mencakup kisaran 0,03 persen warga Depok. Sangat rendah hingga data tersebut tak bisa dijadikan acuan untuk menggambarkan situasi pandemi di Depok.

Bandingkan dengan DKI Jakarta. Sepekan belakangan saja, sudah 45.009 tes yang dilakoni atau hampir 45 persen populasi Ibu Kota. Tak heran bila temuan kasus di Jakarta konsisten lebih dari 300 kasus baru per hari.

Kecilnya kemampuan tes PCR ini berkaitan dengan kemampuan finansial Kota Depok. Kas daerah Kota Depok memang tak seberapa bila dibandingkan dengan DKI Jakarta.

Sebagai contoh, kini Kota Depok hanya mengandalkan Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda) Kota Depok sebagai satu-satunya laboratorium PCR pemeriksa Covid-19 yang mereka biayai.

Baca juga: Lonjakan Kasus Covid-19 di Depok: Data Pemkot Tak Transparan hingga Disentil Mendagri Tito

Sudah hampir 2 bulan, Pemerintah Kota Depok menyetop pembiayaan tes PCR di Laboratorium RS Brimob dan RS Universitas Indonesia.

Bandingkan dengan DKI Jakarta yang berkolaborasi dengan 54 laboratorium pemerintah, BUMN, dan swasta untuk melacak sebanyak mungkin kasus Covid-19. Pemprov DKI Jakarta bahkan memberikan dukungan biaya tes kepada laboratorium BUMN dan swasta yang ikut berjejaring bersama dalam pemeriksaan sampel program itu.

“Memang (semakin banyak laboratorium pemeriksa Covid-19, semakin baik). Tapi, cari duitnya dulu, ya,” seloroh Kepala Dinas Kesehatan Kota Depok, Novarita, Rabu (12/8/2020).

Penanganan setengah hati

Dengan tes yang sedikit saja, Kota Depok kini tengah mengalami gelombang kedua kasus Covid-19. Lonjakan demi lonjakan terjadi sejak 2 pekan terakhir, mulai 31 Juli 2020, seperti tampak pada grafik di bawah.

Lonjakan ini disebut oleh Idris sebagai akibat dari semakin bebasnya mobilitas warga Depok. Klaster-klaster Covid-19 berupa rumah tangga/keluarga mulai bermunculan.

Namun, Pemerintah Kota Depok melalui Juru Bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Dadang Wihana, pekan lalu justru mengaku “tak bisa membatasi aktivitas warga bekerja”. Padahal, Depok masih berstatus wilayah PSBB Proporsional.

Baca juga: Pemkot: Klaster Covid-19 Rumah Tangga Bermunculan di Depok

Alih-alih memperketat kembali pembatasan sosial berskala besar yang dilonggarkan pada 5 Juni 2020 lalu, Wali Kota Idris pilih menerbitkan edaran berupa 11 panduan bagi warga Depok guna mencegah penularan virus corona di rumah.

Isi edaran yang terbit 8 Agustus 2020 itu berisi sederet protokol, seperti jangan menyentuh benda apa pun sepulang ke rumah, segera membersihkan ponsel, mencuci pakaian, dan mandi sebelum berhubungan dengan keluarga. Idris berharap, seluruh warga akan patuh pada edaran itu.

Sisanya, Idris mengaku akan mengoptimalkan kembali Pembatasan Sosial Kampung Siaga (PSKS) Covid-19 berbasis RW di Depok. Masing-masing dari total 924 RW di Depok akan diguyur dana Rp 2 juta.

Itu artinya, kas daerah tersedot sekitar Rp 1,8 miliar untuk mengoptimalkan kembali program ini. Masalahnya, tak jelas sejauh mana efektivitas program PSKS Covid-19 berbasis RW dalam mengerem pertumbuhan kasus Covid-19. Idris maupun jajaran tak pernah mengumumkan soal itu.

Menanti ledakan bom waktu?

Dengan keadaan ini, otomatis Pemerintah Kota Depok memiliki satu PR besar yang harus dikerjakan selekas mungkin, yakni menggencarkan tes PCR yang sudah dikritik Tito.

Masalahnya, dengan jumlah tes PCR yang sedikit seperti saat ini saja, kasus aktif (pasien sedang terjangkit Covid-19) di Kota Depok kini konstan di atas 300 pasien menyusul lonjakan selama 2 pekan terakhir.

Di sisi lain, jumlah ketersediaan tempat tidur untuk pasien Covid-19 di Depok hanya 244 ranjang, berdasarkan data Pusat Informasi Covid-19 Kota Depok (Picodep), Rabu (12/8/2020).

Angka itu pun sudah termasuk jumlah tempat tidur di rumah sakit khusus isolasi. Rumah sakit jenis ini ditujukan untuk mengisolasi para pasien tanpa gejala yang keadaan rumahnya tak memungkinkan untuk karantina mandiri.

Baca juga: [UPDATE] Daftar 22 Kelurahan Zona Merah Covid-19 di Depok Saat Ini

Novarita menyebutkan, jumlah pasien Covid-19 yang melebihi ketersediaan tempat tidur di Depok masih belum begitu membahayakan.

Kata dia, rumah sakit yang ada masih bisa menampung pasien Covid-19, karena tak seluruh pasien positif dirawat di rumah sakit –ada yang dikarantina mandiri lantaran tanpa gejala.

“Yang tak bergejala isolasi di rumah, yang bergejala ringan cukup dipantau, bergejala ‘sedang’ dirujuk ke rumah sakit isolasi, yang bergejala berat ke rumah sakit rujukan,” kata dia.

Akan tetapi, Novarita tak menampik, bila upaya-upaya pencegahan tak dilakukan, maka Kota Depok tengah menyulut bom waktu. Suatu hari, rumah sakit bisa kedodoran karena melonjaknya jumlah pasien Covid-19 yang mesti dirawat.

Peluang itu bukannya mustahil, ujar Novarita, semisal rumah sakit mengalami overkapasitas dan tenaga kesehatan yang ada tak cukup untuk melayani banjirnya pasien Covid-19 yang berdatangan ke rumah sakit.

“Memang, memang (seperti bom waktu). Itu yang kadang sedih juga. Apalagi upaya yang harus dikerjakan? Menyiapkan tempat tidur di rumah sakit, sudah maksimal menurut saya. Tenaga kesehatannya juga sudah kerja maksimal banget, tapi warganya enggak (peduli),” ungkapnya.

“Mau menyiapkan berapa rumah sakit yang harus dibuka? Siapa juga (tenaga kesehatan) yang mau kerja nantinya kalau sebanyak itu?” tuntas Novarita.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Harga Bawang Merah Melonjak, Pemprov DKI Bakal Gelar Pangan Murah

Harga Bawang Merah Melonjak, Pemprov DKI Bakal Gelar Pangan Murah

Megapolitan
Pemprov DKI Diminta Lindungi Pengusaha Warung Madura Terkait Adanya Permintaan Pembatasan Jam Operasional

Pemprov DKI Diminta Lindungi Pengusaha Warung Madura Terkait Adanya Permintaan Pembatasan Jam Operasional

Megapolitan
Kronologi Brigadir RAT Bunuh Diri Pakai Pistol di Dalam Alphard

Kronologi Brigadir RAT Bunuh Diri Pakai Pistol di Dalam Alphard

Megapolitan
Polisi Pastikan Kasus Dugaan Pemerasan Firli Bahuri Masih Terus Berjalan

Polisi Pastikan Kasus Dugaan Pemerasan Firli Bahuri Masih Terus Berjalan

Megapolitan
Brigadir RAT Diduga Pakai Pistol HS-9 untuk Akhiri Hidupnya di Dalam Mobil

Brigadir RAT Diduga Pakai Pistol HS-9 untuk Akhiri Hidupnya di Dalam Mobil

Megapolitan
Korban: Guling yang Dicuri Maling Peninggalan Almarhum Ayah Saya

Korban: Guling yang Dicuri Maling Peninggalan Almarhum Ayah Saya

Megapolitan
Guling yang Dicuri Maling di Cinere Usianya Sudah Belasan Tahun

Guling yang Dicuri Maling di Cinere Usianya Sudah Belasan Tahun

Megapolitan
Khawatir Rumahnya Diambil Pemerintah, Banyak Warga Tanah Tinggi Tak Ikut Program 'Bebenah Kampung'

Khawatir Rumahnya Diambil Pemerintah, Banyak Warga Tanah Tinggi Tak Ikut Program "Bebenah Kampung"

Megapolitan
Anggota Polresta Manado Tembak Kepalanya Pakai Senpi, Peluru Tembus dari Pelipis Kanan ke Kiri

Anggota Polresta Manado Tembak Kepalanya Pakai Senpi, Peluru Tembus dari Pelipis Kanan ke Kiri

Megapolitan
Maling Guling Beraksi di Cinere, Korban: Lucu, Kenapa Enggak Sekalian Kasurnya!

Maling Guling Beraksi di Cinere, Korban: Lucu, Kenapa Enggak Sekalian Kasurnya!

Megapolitan
Kronologi Pengendara Moge Tewas Terlindas Truk Trailer di Plumpang

Kronologi Pengendara Moge Tewas Terlindas Truk Trailer di Plumpang

Megapolitan
Mayat Bayi di Tanah Abang, Diduga Dibuang Ayah Kandungnya

Mayat Bayi di Tanah Abang, Diduga Dibuang Ayah Kandungnya

Megapolitan
2 Pria Rampok Taksi 'Online' di Kembangan untuk Bayar Pinjol

2 Pria Rampok Taksi "Online" di Kembangan untuk Bayar Pinjol

Megapolitan
Heru Budi: Jakarta Bisa Benahi Tata Kota jika Pemerintahan Pindah ke IKN

Heru Budi: Jakarta Bisa Benahi Tata Kota jika Pemerintahan Pindah ke IKN

Megapolitan
Polda Metro Jadwalkan Pemeriksaan Pendeta Gilbert Lumoindong Terkait Dugaan Penistaan Agama

Polda Metro Jadwalkan Pemeriksaan Pendeta Gilbert Lumoindong Terkait Dugaan Penistaan Agama

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com