JAKARTA, KOMPAS.com - Kronisnya konflik agraria yang terjadi di Tanah Merah masih persoalan dalam klaim status lahan di sekitar Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) milik PT Pertamina (Persero) di Plumpang, Jakarta Utara.
Perdebatan ini muncul sebagai buntut dari kebakaran depo BBM pada Jumat (3/3/2023), yang merembet ke permukiman warga dan membuat 19 orang tewas dan 49 lainnya luka-luka.
Sekretaris Jendral Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika menjelaskan, ketidakjelasan status kepemilikan lahan itu yang membuat nasib warga Tanah Merah menggantung sejak lama.
Baca juga: Jawaban Pemprov DKI atas Kritik Penerbitan IMB Kawasan Tanah Merah
"Terlepas apa yang menjadi penyebab kebakaran, saya pikir ada konflik agraria yang tidak pernah kunjung diselesaikan sampai dengan detik ini," tutur Dewi kepada Kompas.com, dikutip Rabu (8/3/2023).
Dampaknya, kata Dewi, sudah bisa dirasakan sekarang yang mana perkampungan yang ada di kawasan tersebut semakin padat bersamaan tengah persoalan bahayanya zona lokasi sekitar depo.
Kalau memang kampung itu akan ditata, Dewi berpandangan seharusnya sudah sejak lama hak-hak warga diberikan. Terlebih, jarak antara depo dengan permukiman harus ada zona aman atau buffer zone.
Walhasil, konflik agraria yang tidak kunjung dituntaskan sejak awal itu berujung pada sengketa hingga tumpang tindih klaim status kepemilikan lahan.
Baca juga: IMB Sementara Warga Tanah Merah Diributkan, Patutkah Anies Baswedan Disalahkan?
"Maka kompleksitas masalah agrarianya menjadi lebih rumit ditambah lagi permukiman tentu akan semakin padat yang membuat aktivitas Pertamina dan kehidupan warga tidak aman," kata dia.
Dewi menyayangkan peristiwa kebakaran ini berujung jadi "gorengan" isu poilitik. Padahal, kata dia, persoalan status lahan di Tanah Merah ini sudah menjadi permasalahan agraria yang kronis karena dibiarkan sejak lama.
Menurut Dewi, penyelesaian status hak lahan warga Tanah Merah ini perlu dijauhkan dari politisasi. Selama ini, konflik agraria dinilai tidak pernah tuntas sejak 1980-an karena kental dengan nuansa politik.
"Kasus ini tidak pernah dituntaskan secara utuh, tetapi selalu dalam proses politik di DKI Jakarta ini selalu jadi bagian dari janji politik di era mana pun," kata Dewi.
Pada 2012, mantan Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo, membentuk tim teknis penanganan masalah Tanah Merah yang tertuang dalam Keputusan Gubernur No.101/2012 pada 13 Januari 2012.
Namun, hingga berakhirnya jabatan Fauzi Bowo, permasalahan yang dihadapi warga Tanah Merah juga belum selesai. Lantas, Joko Widodo yang saat itu menjabat jadi orang nomor satu di Jakarta membagikan kartu tanda penduduk (KTP) pada 2012.
Baru kemudian baru diikuti Anies yang menerbitkan IMB kawasan yang sifatnya sementara pada 2021. Penerbitan IMB itu pun, kata Dewi, hanya jalan tengah agar warga setempat tetap bisa mengakses kebutuhan dasar.
Kendati demikian, Dewi melanjutkan, hal yang menjadi dasar persoalan status lahan di Tanah Merah juga belum ada hasilnya. Sejauh ini, kata dia, hanya penyelesaian sementara yang diterima warga Tanah Merah.
Dewi meminta Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) DKI Jakarta dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang untuk turun tangan dalam membuka status hak atas tanah yang selama ini diklaim oleh Pertamina.
"Itulah yang menjadi penyebab tumpang tindih klaim dan konflik berkepanjangan warga dengan perusahaan negara tersebut," tutur Dewi.
Apabila ditarik dari sisi kesejarahan, kata Dewi, sebetulnya perkampungan di Tanah Merah itu sudah ada lebih dulu, yakni sejak 1960-an. Lalu, permukiman itu mulai berkembang pada 1980-an.
"Klaim Pertamina itu datang belakangan. Pada 1970-an, barulah masuk klaim Pertamina dan menyatakan bahwa Pertamina yang berhak atas tanah tersebut," kata Dewi.
Baca juga: Ini Alasan Pemprov DKI Terbitkan IMB Kawasan Sekitar Depo Pertamina Plumpang pada 2021
Konflik yang sudah berlangsung sejak lama ini pun tidak kunjung diselesaikan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Yang terjadi justru warga di sekitar sana menjadi bursa politik.
"Sehingga sengketanya menjadi berkepanjangan. Itulah yang kami sebut sebagai konflik agraria karena dampak sosial ekonominya sangat luas. Ini bukan sengketa pertanahan biasa," kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.