JAKARTA, KOMPAS.com - Usai kebakaran depo Pertamina Plumpang pada Jumat (3/3/2023), timbul sejumlah polemik mengenai kepemilikan lahan.
Untuk diketahui, si jago merah melahap sebagian permukiman warga RW 009 (Kampung Tanah Merah) hingga RW 001 (Kampung Bendungan Melayu).
Kedua kampung tersebut berdekatan dengan tembok pembatas sehingga api dari Depo Pertamina Plumpang merembet ke permukiman warga.
Warga Kampung Tanah Merah menolak relokasi karena berbekal surat izin mendirikan bangunan (IMB) yang diterbitkan pada Oktober 2021 atau sewaktu Anies Baswedan menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Baca juga: Heru Budi Irit Bicara soal Relokasi Warga Sekitar Depo Pertamina Plumpang: Tanya ke Pertamina
Sementara berdasarkan wawancara Kompas.com, warga Kampung Bendungan Melayu mengaku memiliki sertifikat hak guna bangunan (SHGB) yang diterbitkan pada Oktober 2018 atau jelang Pillres 2019.
Terlepas dari kepemilikan SHGB dan IMB, pakar tata kota dari Universitas Trisakti, Nirwono Yoga, memberikan sejumlah catatan penting yang harus diketahui mengenai buffer zone.
Catatan penting dari Nirwono membuka mata tentang bahayanya bermukim di area buffer zone.
Tanah kosong dan fasilitas penting nasional
Nirwono menceritakan, pembangunan Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) Pertamina di Plumpang yang berjarak 5 kilometer dari Pelabuhan Tanjung Priok sejatinya sudah sesuai dengan Rencana Induk Djakarta 1965 - 1985.
"Kala itu, sekitar depo masih tanah kosong dan rawa (sekarang dikenal Rawa Badak) dan tidak permukiman," ungkap Nirwono saat dihubungi Kompas.com pada Sabtu (11/3/2023).
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.