Setelah proses ini selesai, akun Facebook tersangka menghilang dan tidak memberikan penjelasan sama sekali.
"Setelah korban menukar kriptonya di BUSD, kemudian akun Facebook tersebut hilang, yang tidak bisa lagi berkomunikasi dengan korban," imbuh Auliansyah.
Auliansyah mengatakan, saat ini pihaknya masih memburu bos dari penipu.
Keduanya merupakan pelaku penipuan yang tak saling kenal dan tidak berhubungan.
Namun, tersangka B masih memiliki bos atau senior yang mengajarinya melakukan penipuan.
Akun Facebook milik seseorang yang mengajari B menipu masih belum ditemukan polisi.
"Nah saudara B ini masih ada lagi level-nya di atas. Jadi saudara B ini direkrut oleh seseorang secara online yang sekarang masih DPO (daftar pencarian orang) di forum online crypto pada media sosial Facebook," ujar Auliansyah
"Akun Facebook perekrut tersangka B sudah tidak dapat ditemukan lagi saat ini," tambah dia.
Ia mengatakan, seseorang yang kini masuk DPO tersebut memberikan format pesan messenger, email, alamat wallet untuk pembayaran korban penipuan, serta akses akun Facebook palsu untuk mencari mangsa.
"Kemudian DPO ini memiliki akses terhadap akun email tersangka B, sehingga DPO tersebut dapat menghilangkan semua jejak komunikasinya melalui email dengan tersangka B," jelas Auliansyah.
Bahkan, B menerima gaji dari bosnya itu. B bertugas untuk merekrut para korban melalui akun palsu yang menyerupai akun media sosial Indodax. B mendapatkan gaji sebesar Rp 2.500.000 per bulan.
"Ditambah dengan bonus dengan jumlah bervariasi atas tindakannya menjalankan aksi penipuan yang direncanakan oleh tersangka yang masih DPO," kata dia.
"Kemudian tersangka yang masih DPO mengirimkan gaji tersangka B melalui aset kripto kepada akun investasi kripto milik B," tambah dia.
Kedua tersangka ini dijerat dengan Undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik.
"Pasal 28 Ayat 1 juncto Pasal 45 ayat 1, dan atau pasal 35 juncto pasal 51 ayat 1 dan atau pasal 36 juncto pasal 51 ayat 2, Undang-undang nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan atas undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik," jelas dia.
"Sedangkan ancaman hukumannya itu denda paling banyak Rp 1 miliar dan hukuman penjara paling lama enam tahun," tambah dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.