JAKARTA, KOMPAS.com - Meskipun hanya berdagang siomay dan es teler di gerobak, Sugito (68) tetap berusaha untuk bisa berkurban tiap tahun di Mushala Nurul Hidayat, Gaga, Larangan, Kota Tangerang.
Pedagang kaki lima (PKL) di Taman Gajah Darmawangsa, Pulo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, itu mengikuti program urunan yang diselenggarakan panitia kurban dari Mushala Nurul Hidayat.
Dengan program urunan ini, keluarga Sugito hanya membayar uang senilai Rp 3,5 juta untuk berkurban seekor sapi bersama keluarga lain.
Baca juga: Pedagang Siomay di Kebayoran Baru Rutin Berkurban Tiap Tahun, Menabung untuk Patungan Sapi
Dia tidak menampik bahwa mengumpulkan uang Rp 3,5 juta bukanlah perkara mudah seperti orang bergelimang harta. Namun, dia menyakini bahwa setiap niat baik akan menemukan rezeki.
“Namanya rezeki orang pinggir jalan ya, kadang-kadang ramai, ya Alhamdulillah, dapat banyak, bisa menyisihkan,” kata Sugito saat berbincang dengan Kompas.com di Taman Gajah Darmawangsa, Pulo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa (18/6/2024).
Berpondasi keyakinan tersebut, Sugito mulai menyisihkan uang dari omzet yang dia dapatkan setiap hari dengan berjualan siomai sekaligus es teler.
Baca juga: Berkurban Setiap Tahun, Pedagang Siomay: Kalau Uang Sedikit tapi Niat, Insya Allah Bisa...
Periode pengumpulan uang demi berkurban itu telah dia mulai sejak dua bulan sebelum tiba Hari Raya Idul Adha.
“(Menyisihkan setiap hari) enggak menentu. Namanya PKL, ya kalau ada kita sisihkan. Kadang-kadang, kalau lagi ada rezeki, ya Rp 300.000, Rp 100.000, kadang Rp 50.000,” ujar Sugito.
Pada intinya, Sugito dan istrinya yakni Gemi (62) juga menyakini bahwa setiap rezeki yang keduanya peroleh dari berdagang ada rezeki orang lain.
“Kalau kita ada rezeki, di lingkungan kita itu ada anak yatim, kita bantu. Yang saya utamakan seperti itu. Kalau saya sih, yang penting yang lain pada ikut makan daging,” ujar Sugito.
Baca juga: Cerita Pedagang Siomay Rangkul Sesama Perantau di Jakarta untuk Berkurban di Kampung Halaman
Sugito yang juga merupakan pengurus Mushala Al Hidayat menyampaikan, hewan-hewan kurban ini mereka pesan dari sebuah peternakan yang ada daerah Serang, Banten.
“Kurang dari satu bulan (Idul Adha) kita booking dulu. Misal, sepuluh. Nanti, kalau misalnya cuma kita ambil enam, enggak apa-apa. Kan tergantung yang urunan,” kata Sugito.
Rupanya, metode urunan demi bisa berkurban meski hanya pedagang kaki lima ini sudah di terapkan bersama paguyuban bernama Warga Pelem Manunggal.
Anggota paguyuban tersebut berisi para pedagang sekaligus perantau di Jakarta yang bermukim di Desa Pelem, Pundung Sari, Semin, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta — termasuk Sugito.
Baca juga: Pedagang Siomay di Kebayoran Berkurban Tiap Tahun, Patungan Rp 3,5 Juta untuk Beli Sapi
Sekitar 1990-an, Sugito bersama teman-temannya merasa Masjid As Sidiq Pelem tidak semarak saat Hari Raya Idul Adha tiba.
“Kebetulan, di kampung saya itu zaman dulu tertinggal, terus bikin masjid saja istilahnya dari sini (paguyuban), mula-mulanya juga saya yang mencari dana di sini untuk bikin masjid di kampung,” ujar Sugito.
“Setelah masjid itu jadi, setiap tahunnya, pas lebaran haji itu, kok enggak ada yang kurban, kayak enggak semarak, masjid selalu kosong, enggak ramai,” kata dia melanjutkan.
Berangkat dari gagasan itu, Sugito mengajak anggota paguyuban Warga Pelem Manunggal untuk berkurban dengan cara urunan.
Saat memberikan ide ini, Sugito mengucap syukur karena banyak anggota yang setuju, mengingat gagasan ayah tiga anak itu berhasil membangun Masjid As Sidiq dari hasil urunan.
“Alhamdulillah, itu banyak yang setuju. 'Di lingkungan sini (Jakarta), orang sudah banyak yang makan daging. Bagaimana kalau kita berkurban untuk di kampung? Kita gabungkan jadi satu. Di Kampung kan orang jarang makan daging'. Ya setuju, banyak yang setuju,” ungkap Sugito.
Ketika itu, hasil urunan hanya terkumpul Rp 6 juta. Tetapi, uang tersebut bisa membeli empat ekor kambing yang dulu hanya senilai Rp 1,5 juta.
“Nah, sampai sekarang, Alhamdulillah, sekarang pun di masjid yang kita bangun dan kita beri daging kurban itu, sekarang melimpah, istilahnya bisa melimpah, bisa ke tetangga lain,” pungkas Sugito.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.