JAKARTA, KOMPAS.com - Sidang praperadilan yang dimohonkan Buni Yani soal penetapannya sebagai tersangka pada kasus dugaan pencemaran nama baik dan penghasutan terkait SARA (suku, agama, ras, dan antar-golongan) akan segera diputus oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sejak sidang berlangsung pada Selasa (13/12/2016) lalu hingga Jumat (16/12/2016), Buni dan Polda Metro Jaya telah memaparkan argumen masing-masing terkait tepat atau tidaknya penetapan status tersangka Buni.
Menurut Buni, polisi tidak punya dasar menetapkan dirinya sebagai tersangka. Dalil yang digunakan Buni untuk meyakinkan hakim salah satunya adalah isi status Facebook-nya yang dianggap polisi telah mengandung unsur SARA.
"Bahwa isi caption yang tertulis, 'Bapak-Ibu (pemilih Muslim)... dibohongi Surat Al-Maidah 51... (dan) masuk neraka (juga Bapak-Ibu) dibodohi. Kelihatannya akan terjadi sesuatu yang kurang baik dengan video ini,' bukan transkrip video berdurasi satu jam empat puluh menit itu (video pidato Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok di Kepulauan Seribu), melainkan intisari yang bercampur dengan opini pribadi," kata kuasa hukum Buni, Aldwin Rahadian, di hadapan majelis hakim pada Selasa lalu.
Aldwin menjelaskan, tulisan Buni merepresentasikan keraguannya atas isi video pidato Gubernur DKI Jakarta it di Kepulauan Seribu pada September 2016 lalu, bukan atas dasar keinginan menghasut atau menebar kebencian. Hal itu turut didukung pernyataan ahli bahasa, baik ahli bahasa yang dihadirkan Buni maupun Polda Metro Jaya.
Selain itu, Buni keberatan dengan tahapan penetapannya sebagai tersangka yang melewatkan proses gelar perkara.
Saat menanggapi hal itu, pihak Polda Metro Jaya selaku termohon praperadilan menyatakan menolak semua dalil permohonan Buni. Kepala Bidang Hukum Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Agus Rohmat menuturkan, penyidik dalam kasus itu telah bertindak secara profesional.
Semua tahapan telah dilalui sesuai prosedur yang berlaku, termasuk soal gelar perkara yang sebelumnya dipermasalahkan Buni. Bahkan, Agus secara tegas menerangkan bahwa dalil yang dipakai Buni untuk menyebut polisi menyalahi prosedur, yaitu Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 12 Tahun 2009, sudah tidak berlaku lagi.
"Telah kami jawab bahwa Perkap Nomor 12 Tahun 2009 yang dijadikan dasar pemohon, berdasarkan Pasal 101 Perkap Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan, (aturan) itu telah dicabut dan dianggap tidak berlaku," tutur Agus.
Pada sidang hari Kamis (15/12/2016), saksi dari pemohon memperkuat permohonan praperadilan Buni. Mereka yang bersaksi di antaranya Munarman dan Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) DKI Jakarta Achmad Lutfi.
Menurut Munarman, tidak ada yang salah dengan status Facebook Buni. Justru yang salah adalah pidato Ahok dalam video yang pertama kali diunggah oleh Diskominfomas DKI Jakarta.
Sementara Lutfi selaku ahli agama yang dihadirkan ternyata belum pernah melihat status Facebook Buni. Hal itu terungkap ketika Hakim Ketua Sutiyono menanyakan hal itu langsung kepada Lutfi di muka persidangan.
"Karena ini berbeda kasus ya, Pak Ustad. Dari tadi Bapak sering mengucapkan soal MUI dan kasus penodaan agama Pak Ahok, tapi ini kasus yang berbeda. Ini kaitannya dengan status yang diduga menyebarkan kebencian oleh pemohon," ujar Sutiyono.
Baca: Saksi Ahli pada Praperadilan Buni Yani Belum Lihat Isi Status Facebook
Semua saksi yang dihadirkan Buni mengaku belum pernah melihat langsung seperti apa isis status Facebook yang dipermasalahkan, termasuk Munarman. Mereka hanya lihat dari pemberitaan di media, cerita orang, hingga tampilan screenshot yang disebar oleh netizen di media sosial.
Pada sidang hari Jumat (16/12/2016), giliran Polda Metro Jaya menghadirkan saksi dan ahli. Berdasarkan keterangan mereka yang dihadirkan, perbuatan Buni dinilai telah memenuhi unsur dalam Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).