DEPOK, KOMPAS.com - Sekira 10.000 anggota Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Kota Depok menyatakan sikap menolak disahkannya UU Cipta Kerja oleh DPR dan pemerintah kemarin.
"Kami menolak disahkannya UU Cipta Kerja," tegas Ketua FSPMI Kota Depok, Wido Pratikno kepada wartawan pada Selasa (6/10/2029).
"Jadi karena apa kami tolak? Pesangon didegradasi, kemudian cuti haid dihilangkan, terus kontrak kerja seumur hidup bisa, outsourcing seumur hidup bisa," lanjut dia.
Baca juga: UU Cipta Kerja Disahkan, Serikat Buruh Depok Berencana Mogok Kerja 3 Hari
Atas penolakan ini, para pekerja dan buruh pabrik metal di Depok berencana mogok kerja secara massal.
Bukan hanya 1 hari, mogok kerja massal diklaim akan dilakukan selama 3 hari ke depan.
"Ya (akan mogok kerja). Kami memang sedang berkonsolidasi terus untuk hari ini nggak kerja dan 3 hari ke depan," ujar Wido.
"Ini hanya instruksi pimpinan pusat. Yang jelas untuk sementara masih di wilayah-wilayah pabrik-pabrik yang ada," tambahnya.
Penolakan ini selaras dengan gelombang protes kalangan pekerja dan buruh serta koalisi masyarakat sipil terhadap UU Cipta Kerja.
UU Cipta Kerja yang masuk dalam Omnibus Law usulan Presiden RI Joko Widodo ini dinilai rentan mengeksploitasi para pekerja dan buruh serta lingkungan hidup.
Dari sisi pekerja, berikut segelintir dari sekian kerugian yang akan ditimbulkan akibat disahkannya undang-undang ini:
1. Penghapusan upah minimum
Salah satu poin yang ditolak serikat buruh adalah penghapusan upah minimum kota/kabupaten (UMK) dan diganti dengan upah minimum provinsi (UMP). Penghapusan itu dinilai membuat upah pekerja lebih rendah.
Padahal, dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 disebutkan tak boleh ada pekerja yang mendapat upah di bawah upah minimum.
Baik UMP dan UMK, ditetapkan oleh gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari dewan pengupahan provinsi dan bupati/wali kota.
Penetapan UMK dan UMP didasarkan atas perhitungan Kebutuhan Layak Hidup atau KLH.