JAKARTA, KOMPAS.com - Buruknya kualitas udara di wilayah DKI Jakarta tak hanya berasal dari kendaraan bermotor, tetapi juga dari sumber tidak bergerak berupa industri, pembangkit listrik, dan pembakaran sampah.
Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Fajri Fadhillah berujar, pengendalian sumber pencemar udara tidak bergerak sudah mendesak untuk dilakukan.
"Pengetatan batas emisi atau baku mutu emisi untuk industri dan pembangkit listrik itu harus dilakukan segera," ucap Fajri kepada Kompas.com, Senin (12/6/2023).
Menurut Fajri, Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Jawa Barat, dan Gubernur Banten memiliki wewenang untuk menentukan batas emisi untuk industri dan pembangkit listrik yang menggunakan batubara ini, misalnya di Bekasi dan Tangerang.
Bahkan, kata Fajri, pembangkit batubara yang berada di Cilegon pun emisinya bisa terbawa ke Jakarta karena faktor meteorologis dan geografis.
"Pengetatan baku emisi di pembangkit listrik dan industri relatif lebih mudah dibandingkan dengan mengendalikan emisi dari kendaraan bermotor yang jumlahnya banyak," ucap Fajri.
Sayangnya, Fajri menilai kewenangan itu belum dilakukan oleh para gubernur dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) yang juga memiliki kewenangan sama.
Baca juga: Kelakar Heru Budi Atasi Polusi Udara di Jakarta: Saya Tiup Saja…
"Industri dan pembangkit listrik itu berkontribusi primary PM 2.5 (debu halus) memang di bawah kendaraan bermotor, tetapi tidak jauh perbedaan angkanya," ucap Fajri.
Menurut Fajri, kontribusi nitrogen dioksida dan karbon monoksida dari kendaraan bermotor memang cukup tinggi, yaitu 90 persen.
Namun, kata Fajri, hal penting yang perlu disoroti bahwa industri dan pembangkit listrik itu merupakan kontributor utaman untuk sulfur dioksida.
"Interaksi sulfur dioksida dan nitrogen di atmosfer akhirnya akan membentuk secondary PM 2.5," kata Fajri.
"Jadi dengan kata lain, untuk mengurangi PM 2.5 harus mengendalikan juga sumber industri dan pembangkit listrik," kata dia melanjutkan.
Baca juga: Menagih Janji Pemprov DKI Usai Kalah Gugatan Polusi Udara Warga Jakarta 2 Tahun Lalu
Kualitas udara di DKI Jakarta memburuk beberapa hari terakhir ini. Data dari IQAir, indeks kualitas udara di Jakarta tak pernah kurang dari 150 sejak Jumat (19/5/2023).
IQAir mencatat, indeks kualitas udara tertinggi mencapai 159 pada Senin (22/5/2023). Angka itu menunjukkan kualitas udara yang tidak sehat.
Pada Selasa (13/6/2023) pagi ini, indeks kualitas udara Jakarta sudah mencapai 154 pada pukul 05.00 WIB atau dalam kategori tidak sehat.
Cemaran konsentrasi partikulat matter (PM) 2,5 di Jakarta juga tercatat 61 mikrogram per meter kubik (µgram/m3). Angka ini 12,2 kali lebih tinggi dari ambang batas aman yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Pada situasi ini, masyarakat diminta memakai masker di luar ruangan. Lalu, tutup jendela untuk menghindari udara luar yang kotor dan kurangi aktivitas di luar ruangan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.