Sebanyak 13 warga Kalibata City misalnya, saat ini tengah mengajukan gugatan perdata atas tudingan mark up atau penggelembungan tagihan listrik yang ditagih badan pengelolanya.
Triana menilai, listrik sering kali menjadi jalan masuk bagi pengembang dan pengelola apartemen menekan penghuninya, seperti yang dialami Yvonne Rusdi yang setahun hidup tanpa listrik di apartemen mewah Bellezza (Permata Hijau) saat menggugat pengembangnya ke pengadilan atas luas apartemen yang lebih kecil dari yang tertera di sertifikat.
Selain itu, ada kasus penemuan tengkorak di Apartemen Green Park View pada 2016 yang ternyata adalah warga bernama Paulus Hidayat yang sudah renta dan mengidap penyakit.
Paulus meninggal tanpa diketahui siapa pun dengan kondisi listrik diputus. "Listrik kita dijadikan alat untuk intimidasi," ujar Triana.
(Baca juga: Bisakah Penghuni Apartemen Menuntut Pengembang?)
Setelah itu, adalah upaya pengembang masih tetap menguasai aprtemen yang sudah dijualnya dengan membentuk perhimpunan pemilik dan penghuni satuan rumah susun (P3SRS) sendiri.
Adapun Pasal 74 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rusun mengamanatkan pemilik rumah susun untuk membentuk P3SRS yang berkedudukan sebagai badan hukum.
Pengembang diwajibkan memfasilitasi pembentukan P3SRS ini paling lambat setahun setelah penyerahan unit ke penghuni.
P3SRS nantinya bertindak seperti RT/RW yang mengelola lingkungan dengan membentuk badan pengelola untuk mengurusi rumah tangga penghuninya.
Sayangnya, peraturan ini tidak pernah dijalankan oleh kebanyakan pengelola apartemen. Di Thamrin City misalnya, warga memenangkan kasasi melawan Gubernur DKI Jakarta dan PT Jakarta Realty selaku anak perusahaan Agung Podomoro Land (APL) setahun lalu.
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok terbukti mengesahkan P3SRS palsu yang tidak diisi oleh warga dan hanya diisi oleh pengembang.
Sayangnya, putusan MA yang memenangkan warga tak kunjung dieksekusi hingga kini. Masalah P3SRS ini, menurut Triana, adalah bukti pengembang tidak pernah ditindak tegas oleh pihak yang berwenang.
Pemerintah seakan tutup mata akan masalah warganya. Sudah berulang kali Triana menemui pejabat mulai dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) hingga Dinas Perumahan Pemprov DKI Jakarta.
(Baca juga: Kewenangan Terbatas Pemprov DKI Atasi Konflik Apartemen dan Penghuninya)
Sayangnya, pemerintah selalu melempar-lempar dan mengaku tak punya kuasa. Padahal, Pasal 5 Undang-Undang Rusun menyebutkan, "Negara bertanggung jawab atas penyelenggaraan rumah susun yang pembinaannya dilaksanakan oleh pemerintah".
Pasal berikutnya menjelaskan bagaimana pemerintah seharusnya mengawasi, bahkan memastikan warganya hidup layak dengan tarif terjangkau.
Kasus Acho, kata Triana, menjadi puncak gunung es atas berbagai masalah yang sama selama bertahun-tahun.
Pembeli lagi-lagi dipidana ketika mengungkapkan kritiknya. Pihaknya mengaku tak akan bosan menggelar aksi maupun menuntut agar pemerintah lebih aktif lagi dalam menjamin hak dan kewajiban warganya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.