Solusi yang diusulkan
Tigor mendorong pemerintah untuk terlebih dahulu menyediakan angkutan publik yang memadai alih-alih membatasi penggunaan sepeda motor di Jakarta.
"Mari sediakan angkutan massal yang baik dulu baru dilakukan kebijakan penggunaan kendaraan bermotor pribadi seperti mobil dan sepeda motor," kata Tigor, Senin (4/9/2017).
(Baca juga: LBH Jakarta: Pelarangan Sepeda Motor, Kebijakan Tak Sesuai Nalar)
Ivan juga menyampaikan hal serupa. Menurut dia, para pengambil kebijakan seharusnya memperbaiki infrastruktur dan pelayanan moda transportasi umum terlebih dahulu sebelum menerapkan kebijakan itu.
Ketua Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ) Iskandar Abubakar menyampaikan, pemerintah harus menyediakan moda transportasi umum yang murah dan cepat apabila ingin membatasi ruang lintas sepeda motor.
"Kalau memang angkutan bisa murah dan cepat, maka orang dengan sendirinya akan beralih ke angkutan umum. Sekarang, kecepatannya enggak bisa dicapai, murahnya juga enggak bisa dicapai," kata Iskandar, Minggu.
Uji coba tetap dilaksanakan
Wakil Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Sigit Wijatmoko memastikan, uji coba perluasan larangan sepeda motor di Jakarta tetap dilaksanakan.
Penolakan dari berbagai pihak tidak akan memengaruhi uji coba tersebut. "Pemerintah tetap akan melakukan uji coba, kalau pun ada yang menolak akan dijadikan sebagai sebuah tantangan dan semangat untuk memberikan layanan terbaik bagi masyarakat," ujar Sigit, Minggu.
Terkait kritik mengenai transportasi publik, ia menyampaikan bahwa Pemprov DKI Jakarta akan menambah jumlah bus transjakarta yang beroperasi di Koridor 1 (Kota-Blok M) dan melakukan sterilisasi jalur khusus transjakarta tersebut sebagai dampak uji coba perluasan larangan sepeda motor.
Alasan perluasan larangan sepeda motor
Sigit mengatakan, alasan utama diperluasnya larangan sepeda motor yakni mengurangi angka kecelakaan kendaraan roda dua tersebut.
"Utamanya adalah mereduksi angka kecelakaan pengguna atau pengendara roda dua. Korban yang meninggal dunia masih tinggi," ujar Sigit.
Namun, Badan Kehormatan Road Safety Association Rio Octaviano menilai alasan tersebut hanya kamuflase.
Sebab, menurut dia, angka kecelakaan yang melibatkan sepeda motor paling tinggi terjadi di Jakarta Utara, sementara pelarangan sepeda motor justru diterapkan di Jakarta Pusat.