JAKARTA, KOMPAS.com – Rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta kembali digelar pada Jumat (27/11/2020).
Rapat kali ini membahas rancangan peraturan daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2021.
Semua fraksi menyampaikan pandangan umumnya terkait rancangan peraturan tersebut.
Satu hari sebelumnya, Kamis (26/11/2020), Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan pimpinan DPRD DKI telah menandatangani Memorandum of Understanding atau Nota Kesepahaman Kebijakan Umum Anggaran Plafon Prioritas Anggaran Sementara (KUA-PPAS) untuk APBD DKI Jakarta 2021. Total RAPBD DKI Jakarta 2021 sejumlah Rp 82,5 triliun.
Berikut beberapa isu yang jadi sorotan fraksi-fraksi dalam rapat tersebut.
1. Transparansi APBD 2021
Fraksi Partai Demokrat dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mempertanyakan transparansi dari APBD tahun 2021.
"Sampai dengan saat ini, dokumen RKPD dan rancangan KUA-PPAS belum ditampilkan pada portal htts.apbd.jakarta.go.id," kata anggota DPRD Fraksi Demokrat, Neneng Hasanah, saat rapat paripurna di Gedung DPRD DKI Jakarta, Jumat.
Baca juga: Fraksi Demokrat dan PSI Pertanyakan Transparansi Pembahasan APBD 2021
Padahal, masyarakat perlu mendapatkan informasi terkait APBD 2021 tersebut.
"Apakah hal ini berarti rakyat DKI Jakarta tidak lagi berhak mengetahui ke mana hasil pajak yang telah mereka bayarkan akan dialokasikan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta?" ucap Neneng.
Senada dengan Neneng, anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Eneng Malianasari menyebutkan, transparansi anggaran di Pemprov DKI Jakarta mundur ke belakang.
Menurut Eneng, Pemprov DKI telah menghalangi hak masyarakat untuk mengawal dan mengawasi penggunaan uang rakyat.
Pembahasan draf KUA-PPAS tahun 2021 juga dinilai kurang transparan karena dilakukan di Puncak, bukan di Gedung DPRD sebagaimana mestinya.
Draf dokumen KUA-PPAS 2021 yang dibahas juga belum dapat diakses publik.
Padahal, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pada November tahun lalu menjanjikan adanya smart system e-budgeting yang akan memberikan transparansi pembahasan anggaran kepada publik.
Namun, sistem smart budgeting yang baru ini mengharuskan warga untuk mencantumkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Nomor Kartu Keluarga (KK).
"Syarat NIK dan nomor KK telah mencederai prinsip anonimitas di dunia digital. Bisa jadi, jika nanti ada warga Jakarta yang ketahuan mengintip dan memublikasikannya akan mendapatkan perlakuan pelayanan yang berbeda karena nama dan NIK-nya sudah dicatat," tutur Eneng.
2. Kerumunan di Petamburan
Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa-Partai Persatuan Pembangunan (PKB-PPP) DPRD DKI Jakarta menyesalkan adanya kerumunan dalam acara pernikahan putri Pemimpin Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab dan Maulid Nabi di Petamburan, Jakarta Pusat.
Anggota Fraksi PKB-PPP Sutikno mengatakan, fraksinya mengkritik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang terkesan membiarkan terjadinya kerumunan tersebut.
"Kami mengkritisi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang membiarkan kerumunan tetap berlangsung, lalu menerapkan sanksi denda walau jumlahnya relatif besar," ucap Sutikno, Jumat.
Baca juga: Kerumunan di Petamburan Tak Dibubarkan, Fraksi PKB-PPP Sebut Pemprov DKI Diskriminatif
Pembiaran kerumunan, diangap Sutikno, menjadi sinyal buruk dalam upaya memerangi Covid-19.
Selain itu, pengenaan denda sebesar Rp 50 juta terhadap kasus kerumunan di Petamburan disebut membuyarkan upaya pencegahan Covid-19.
“Di satu sisi, masyarakat yang punya duit bisa saja berpikir enggak apa-apa membuat kerumunan besar, yang penting mampu membayar denda,” ujar Sutikno.
Menurut Fraksi PKB-PPP, langkah Pemprov DKI Jakarta itu akan menimbulkan ketidakadilan dan diskriminasi bagi masyarakat yang tidak memiliki kekuatan politik atau massa yang besar.
“Atau tidak punya uang sebanyak itu untuk membayar denda,” kata Sutikno.
Ia pun menegaskan bahwa Pemprov DKI tak boleh pandang bulu dalam menindak pelanggar protokol kesehatan Covid-19.