JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria mengatakan, Pemprov DKI Jakarta akan mengkaji opsi lockdown dalam penanganan Covid-19.
Dia mengatakan, opsi tersebut diambil menyusul pernyataan Presiden Joko Widodo yang mengatakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) yang berbarengan dengan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) DKI Jakarta tidak efektif.
"Ya, yang disampaikan Pak Jokowi betul, memang ini belum efektif," kata Riza, Selasa lalu.
Kemudian, muncul opsi lockdown di akhir pekan dari DPR RI yang diyakini Riza bisa menekan penyebaran Covid-19 di Jakarta lebih signifikan dibandingkan dengan PSBB yang saat ini berlaku.
Baca juga: PSBB Tak Efektif, Pemprov DKI Kaji Opsi Lockdown pada Akhir Pekan
Dia mengatakan, salah satu faktor yang dipertimbangkan adalah berkurangnya klaster perkantoran dan klaster keluarga yang semakin bertambah.
Belum lagi fakta bahwa banyak warga DKI Jakarta justru beraktivitas keluar rumah pada akhir pekan.
"Memang faktanya di Sabtu-Minggu karena perkantoran tutup, banyak warga Jakarta yang melakukan aktivitas di luar rumah," kata Riza.
Oleh sebab itu, klaster keluarga kini menjadi klaster terbanyak dalam penyebaran Covid-19 di DKI Jakarta.
Akumulasi kasus Covid-19 di DKI Jakarta per tanggal 3 Februari 2021 sudah tercatat 280.261 kasus, dengan rincian 249.810 pasien sembuh, 26.031 pasien dirawat atau isolasi, dan 4.420 pasien meninggal dunia.
Baca juga: Lockdown Akhir Pekan di Jakarta Dinilai Bakal Efektif, asal Tetap PSBB
Apakah opsi lockdown akhir pekan mampu menekan laju penularan Covid-19 yang kini rata-rata di atas 3.000 kasus per hari?
Sama halnya dengan PPKM, ahli epidemiologi dari Griffith University Australia Dicky Budiman menilai, usulan lockdown tidak akan berpengaruh banyak menekan kasus Covid-19 di DKI Jakarta.
Pasalnya, rata-rata masa inkubasi virus SARS-CoV-2 yang menyebabkan Covid-19 adalah 14 hari.
Jika hanya ada dua hari pembatasan pergerakan, misalnya Sabtu-Minggu, maka hari ketiga bisa tetap terjadi penularan.
"Mungkin kurang dari 10 persen, setelah itu maju lagi kasusnya. Intinya ada fungsi (pengereman) dua hari itu, kemudian hari setelahnya akan naik lagi," kata Dicky.
Baca juga: Lockdown Akhir Pekan di Jakarta, Mungkinkah Dilakukan?
Indonesia, khususnya Jakarta, tidak bisa menerapkan ini karena strategi lockdown selama dua atau tiga hari dimungkinkan hanya untuk daerah yang memiliki kasus Covid-19 yang relatif sedikit.
Dia mengatakan, salah satu contoh di negara bagian di Australia, yaitu Queensland, langsung melakukan lockdown saat satu kasus Covid-19 ditemukan.
Namun, lockdown bukan bertujuan membatasi pergerakan orang, tetapi untuk memaksimalkan pelacakan dan tes untuk orang yang pernah kontak erat dengan kasus positif.
Dari satu kasus, Queensland mendapat 19.000 kasus kontak dan seluruh kasus kontak dilakukan karantina.
Baca juga: Lockdown di Akhir Pekan Dinilai Tak Berpengaruh Banyak Tekan Covid-19
Untuk itu, kata Dicky, Indonesia harus menerapkan lockdown atau PSBB secara total dalam waktu dua minggu.
Atau, jika ingin lebih maksimal, pemerintah bisa mengambil waktu lebih lama, yakni satu bulan ke depan di Jawa-Bali.
Dia menilai tidak akan efektif apabila satu daerah saja yang melakukan lockdown seperti Jakarta saja, tetapi daerah sekitar abai terhadap lockdown yang ada di Jakarta.
"Biar tidak seperti main yoyo, bolak-balik (PSBB), padahal kita tahu pandemi ini masih lama," kata Dicky.
Baca juga: UPDATE 3 Februari: Tambah 3.567 Kasus Covid-19 di Jakarta, 26.031 Pasien Masih Dirawat
Sementara itu, Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetio Edi Marsudi meminta Pemprov DKI Jakarta memikirkan dengan matang opsi lockdown tersebut.
Pasalnya, kata Pras, akan ada banyak sektor yang bersinggungan dengan kebijakan lockdown, termasuk dari sektor ekonomi.
"Jadi kalau lockdown harus dipikirkan matang-matang, sekarang kan semua tersentuh. Masalah ekonomi tersentuh juga kita sangat anjlok dalam pendapatan," ujar Pras, Rabu.
Dia menilai, kondisi penularan Covid-19 di Jakarta memang sangat serius. Namun, sebaiknya masyarakat juga ikut ambil bagian dalam pencegahan penyebaran Covid-19.
Baca juga: Epidemiolog: Wuhan Lockdown Pas 50 Kasus, Indonesia Ratusan Ribu Baru Mau Lockdown
Sehingga, opsi lockdown bisa diganti dengan cara menjalankan protokol kesehatan Covid-19 dalam aktivitas sehari-hari.
"Situasi ini emang enggak main-main, (caranya) sama-sama mendukung program dengan SOP (standar operasional prosedur) yang ada. SOP Covid-19 itu," kata Pras.
Politikus PDI-P ini menilai, keberhasilan penanganan Covid-19 kuncinya bukan pada lockdown atau PSBB, melainkan kerja sama antara pemerintah dan masyarakat menjalankan protokol yang ada.
Apabila tidak ada keseragaman pemerintah dan masyarakat, kata Pras, maka pengendalian Covid-19 akan semakin sulit.
"Kalau semua pada cuek bebek ya susah juga," ucap Pras.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.