Ramainya tepian Kali Angke disebabkan perkembangan Kota Batavia berawal dari Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara, lalu meluas ke Jakarta Barat lokasi dari Kali Angke.
Baca juga: Permukiman di Pamulang Terendam Banjir Luapan Kali Angke
"Riwayat panjang Angke ini terus mewarnai sejarah urban Jakarta hingga hari ini," kata Mona.
Selain menjadi andalan transportasi air, Kali Angke juga sempat menjadi tempat andalan pelaksanaan festival air yang merupakan tradisi bawaan warga peranakan Tionghoa.
Leonard Y Andaya dalam bukunya, The Heritage Of Arung Palakka, menulis, di bawah Kapitan Tionghoa pertama, Souw Beng Kong, ribuan peranakan Tionghoa didatangkan dari Tangerang.
Sebagian besar mereka, mengembangkan perkebunan tebu dengan memanfaatkan air terutama dari Kali Angke dan Ciliwung.
Tak heran jika Batavia kemudian dikenal sebagai salah satu pemasok gula dunia.
Baca juga: Kali Angke dan Tragedi Pembantaian Etnis Tionghoa oleh Belanda
Dari perkebunan tebu inilah kemudian muncul sejumlah tradisi dan festival air di tepian Kali Angke sejak dari ruas Tangerang sampai Batavia.
Tradisi dan festival air tersebut antara lain Pek Cun (lomba perahu naga), melepas kura-kura, dan ikan ke sungai.
Kelenteng-kelenteng dan rumah kawin (balai pernikahan) pun tumbuh bertebaran di beberapa ruas Angke.
Sampai awal tahun 1990-an, sejumlah rumah kawin di tepi Kali Angke di ruas Jalan Tubagus Angke, terutama di sekitar Pesing Poglar, Kedaung Kali Angke, Cengkareng, Jakarta Barat, masih tampak.
Kini, rumah-rumah kawin tersebut hanya bisa dijumpai di kawasan Teluk Naga dan Sewan, di Kecamatan Kampung Melayu, Kabupaten Tangerang.
Baca juga: Normalisasi Kali Angke di Kembangan Utara Terkendala Sengketa Lahan
Hal serupa juga disampaikan Mona Lohanda. ”Perkebunan tebu berawal dari Tangerang, kemudian meluas ke Batavia," ujarnya kepada harian Kompas.
"Ini menunjukkan, imigran Tiongkok terbesar ke Batavia berasal dari Tiongkok Selatan. Ya, dari suku Hokkian. Mereka umumnya petani tebu,” lanjutnya
Mona mengakui imigran Tiongkok kala itu lebih memilih tepian Kali Angke sebagai kawasan permukiman dibandingkan dengan tepian Kali Ciliwung.
Selain karena Angke lebih kecil dibandingkan Ciliwung, juga karena Ciliwung melintas di tengah kota Batavia, sedangkan Angke tidak.
Karena melintasi kota, maka di beberapa ruas Kali Ciliwung tumbuh kegiatan ekonomi kota, sedangkan di beberapa ruas Kali Angke berkembang kegiatan ekonomi pedesaan.
Baca juga: Asal-usul Nama Kali Angke, dari Perebutan Jayakarta hingga Genosida Tionghoa 1740
”Para imigran yang umumnya petani ini biasanya memilih tempat tinggal ataupun tempat kerja yang suasananya mirip atau merujuk ke kampung halaman mereka," kata Mona.
"Hanya sebagian kecil imigran Tiongkok yang hidup di kota. Mereka umumnya adalah pedagang besar, termasuk pedagang opium, bankir, dan bagian dari birokrat VOC ataupun Hindia Belanda,” lanjutnya.
(Kompas.com: Mita Amalia Hapsari | Kompas: Windoro Adi)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.