JAKARTA, KOMPAS.com - Aksi pengendara bertindak semena-mena berulang kali terjadi di jalanan Ibu Kota.
Terbaru, pengendara Pajero berpelat nomor B 1690 QH menodongkan pisau kepada R (33) di Jalan Boulevard, Kelapa Gading, Jakarta Utara, pada Minggu (25/12/2022).
Menurut sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) AB Widyanta, hal ini merupakan realitas sosiologis yang perlu dipahami secara lebih kompleks.
"Kompleksitas itu, satu, dimensi arogansi di mana arogansi muncul karena orang ini merasa punya power, punya kuasa lebih atas yang lain," ungkap Abe, sapaan AB Widyanta, saat dihubungi, Selasa (27/12/2022).
Baca juga: Marak Aksi Koboi di Jalanan Jakarta, Sosiolog: Jalan bak Arena Pertarungan Kuasa
Abe berpandangan, para pelaku yang merasa memiliki jalan, menganggap memiliki hak lebih dibandingkan yang lain.
Sehingga, mereka sama sekali tak memiliki etika publik maupun etika hidup bersama. Perilaku ini jadi cerminan bahwa etika hidup bersama warga perkotaan semakin pudar, luntur, dan merosot.
"Ini sebetulnya penanda bahwa kita semakin pudar di dalam kota metropolitan itu, etika hidup bersama makin luntur, makin mengalami kemerosotan yang terlihat makin sering kasus-kasus seperti ini," jelas Abe.
Baca juga: Awal Mula Kasus Pengemudi Pajero Todongkan Pisau di Kelapa Gading
Dalam kacamata sosiologis, lanjut Abe, ada permasalahan psikologis massa di jalanan. Hal ini membentuk kecemasan publik yang menjadi "sumbu pendek" dan emosional.
"Kemudian muncul praktik penodongan, kekerasan. Ini menjadi problem psikologis massa yang harus dibaca. Kecemasan, represi psikologis di perkotaan, membutuhkan kanal yang tepat," ucap dia.
Abe menuturkan, munculnya perilaku koboi di jalanan Ibu Kota bukan hanya karena faktor emosional dan arogansi.
Ada persoalan mendasar yang belum kunjung selesai hingga hari ini, yakni ketersediaan transportasi publik yang merata dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
Baca juga: Deretan Kasus Pengemudi Pajero Bak Jagoan ke Pengendara Lain
Semua warga negara berhak mendapatkan akses jalan. Namun, dengan keterbatasan jalan, ditambah melimpahnya kendaraan, membuat penggunaannya terbatas.
"Ada yang perlu lebih sangat serius dipikirkan oleh pemerintah, sampai kapankah negara ini memfasilitasi kendaraan-kendaraan pribadi tanpa pernah berpikir holistik, bahwa kita membutuhkan transportasi publik yang lebih bersifat tidak pribadi, tetapi yang massal," tutur Abe.
Dalam negara di dunia ketiga yang jumlah penduduknya banyak, kata Abe, transportasi publik menjadi sebuah kebutuhan mutlak.
Baca juga: Amuk Pengemudi Pajero, Todongkan Pisau dan Serempet Mobil di Kelapa Gading
Abe sendiri mengaku tak ingin berspekulasi terkait kasus penodongan pisau yang diduga dilakukan oleh pejabat publik.