JAKARTA, KOMPAS.com — Ombudsman RI menginvestigasi dugaan malaadministrasi yang dilakukan Satpol PP di pusat keramaian di Jakarta, di antaranya Tanah Abang, Stasiun Manggarai, Stasiun Tebet, kawasan Setiabudi, dan sekitar Mal Ambassador.
Anggota Ombudsman, Adrianus Meliala, menyebut ada empat malaadministrasi yang ditemukan 10 investigator Ombudsman. Empat malaadministrasi yang melanggar perundang-undangan adalah pengabaian PKL berjualan tidak pada tempatnya, penyalahgunaan wewenang dengan malah memfasilitasi PKL, pungutan liar, dan ketidakpatutan atas kerja sama dengan preman atau ormas tertentu.
"Kemudian, dalam setiap rencana penertiban ada oknum aparatur yang melakukan komunikasi dengan pihak PKL untuk mengamankan diri tidak berjualan terlebih dahulu," ujar Adrianus di kantornya, Kamis (2/11/2017).
Menurut Adrianus, modus pungutan itu berbeda dengan sebelumnya, di mana PKL langsung memberi uang kepada oknum anggota Satpol PP di lapangan. Kini, PKL berjualan dengan dibekingi preman atau ormas setempat.
Baca juga: Temuan Ombudsman, Preman Tanah Abang Dekat dengan Satpol PP
Lewat preman atau ormas ini, Satpol PP menerima uang dari PKL. Aksi ini bahkan ditemukan Ombudsman terjadi di kantor kecamatan sebagai markas Satpol PP.
"Di semua tempat kami temukan dengan mengerahkan asisten kami. Kami berikan video, ada percakapan dengan Satpol PP, lalu disebutkan nama-namanya, terima antara Rp 500.000 sampai Rp 8 juta per bulan," kata Adrianus.
Persekongkolan antara preman dan Satpol PP ditemukan Ombudsman di Tanah Abang. Di sana, salah satu preman mengaku punya kedekatan dengan Satpol PP sehingga PKL di sana yang menempati trotoar atau badan jalan tidak terkena razia.
Adrianus tidak bisa memastikan apakah uang yang diterima oknum itu juga mengalir ke pimpinannya masing-masing. Namun ia tidak menutup kemungkinan para komandan dan pimpinan wilayah turut mendapat jatah.
"Saya enggak mau bilang begitu, tetapi dapat diduga demikian, ya," ujarnya.
Baca juga: Ombudsman Temukan PKL Bayar Rp 500.000 hingga Rp 8 Juta ke Satpol PP
Satpol PP juga manusia...
Nirwani Budiarti selaku Inspektur Pembantu (Irban) Bidang Investigasi Inspektorat Pemprov DKI Jakarta mengaku belum pernah ada temuan atau aduan soal Satpol PP melakukan pungutan liar.
Dari daftar hukuman disiplin (hukdis) yang diterima anggota Satpol PP, tak ada satu pun yang serupa dengan temuan Ombudsman.
"Kalau mengenai pungli belum. Masalah lain (ada) mungkin kehadiran dan absensi, tetapi selain itu belum," ujar Nirwani.
Dugaan pungli di balik pertanyaan, "Mengapa banyakSatpol PP hanya duduk-duduk?" juga dianggap tak ada.
Kepala Seksi Pemantau Satpol PP DKI Jakarta Lamsar Nainggolan memang tidak menampik jika Ombudsman atau masyarakat menemukan Satpol PP yang kerap membiarkan PKL berjualan sembarangan. Namun, alasannya naif karena Satpol PP juga manusia yang perlu berteduh dari panasnya matahari.
"Ini klasik jawabannya, kebetulan memang iya, kami tidak menutup itu, mungkin pernah begitu karena kami kadang (kesulitan) panasnya matahari," ujar Lamsar.
Baca juga: Disebut Biarkan PKL Berjualan, Satpol PP DKI Mengaku Sedang Berteduh
Kendati demikian, Lamsar memastikan jajarannya yang mengawasi kinerja Satpol PP terus melakukan pengawasan dari jarak dekat dan jarak jauh. Dia mengatakan telah menghukum lima anggota Satpol PP karena ketahuan hanya duduk-duduk saat bekerja.
Menurut Lamsar, barang bukti berupa foto membuat lima anggotanya itu tidak bisa mengelak dan menerima sanksi dari atasannya.
"Kalau pimpinan datang, sering ada hukuman fisik push-up, lari," katanya.
Hal yang sama diungkapkan Kepala Bagian Umum Satpol PP DKI Jakarta Lusi Andayani. Dia mencontohkan di Tanah Abang sebenarnya sudah pernah dilakukan penertiban. Namun, Satpol PP punya keterbatasan.
"Ya, kami manusiawi. Tanah Abang sudah berapa kali kami tertibkan. Kami wajib menjaga, mungkin anggota kami istirahat sejenak," ujar Lusi.
Baca juga: Dituduh Terima Setoran dari PKL Tanah Abang, Ini Kata Satpol PP
Ombudsman berharap temuan ini dapat ditindaklanjuti Gubernur DKI Jakarta. Sebab, Ombudsman menyimpulkan penataan PKL rawan praktik malaadministrasi.
Potensi malaadministrasi juga berimbas pada tidak optimalnya peran Satpol PP sebagai penegak peraturan daerah sehingga penertiban menimbulkan keresahan dan ketidakpastian.