Baru-baru ini, SETARA Institute merilis Indeks Kota Toleran (IKT) 2021 dengan menilai tingkat toleransi dan tidak toleransi beberapa kota di Indonesia.
Dalam studinya, SETARA Institute menggunakan empat variabel dan delapan indikator terhadap 94 kota di Indonesia.
Kota Depok menjadi kota paling tidak toleran di Indonesia karena mendapatkan skor paling rendah, yakni 3,577.
Ada empat variabel dan delapan indikator yang dijadikan alat ukur kota paling toleran dan tidak toleran di Indonesia sebagai berikut:
Direktur Eksekutif Setara Institute Ismail Hasani menyatakan, setidaknya ada dua alasan mengapa Depok disebut sebagai kota paling intoleran.
"Harus saya akui, problem utama di Depok dua hal yang sebenarnya bobotnya tinggi. Pertama, adanya produk hukum yang diskriminatif, yang mana eksisting dan efektif dijalankan pemerintah," kata Ismail kepada wartawan di Hotel Ashley, Rabu (30/3/2022).
Produk hukum ini memiliki bobot nilai 10 persen dari delapan indikator indeks kota toleran versi Setara Institute.
Di samping produk hukum, kepemimpinan politik di Depok dianggap tidak mempromosikan toleransi.
Baca juga: Prediksi BMKG: Jaksel dan Jaktim Berpotensi Hujan Petir Disertai Angin Kencang pada Siang dan Sore
Padahal, kebijakan diskriminatif dan peristiwa intoleransi sama-sama memiliki bobot 20 persen dalam penilaian.
"Jadi bisa dibayangkan, atas dasar perintah wali kota, tidak ada angin dan tidak ada hujan, tiba-tiba sebuah masjid disegel," lanjut Ismail.
"Ini kan problem. Jadi, bukan hanya di level aturan yang itu bobotnya 20 persen, tapi juga tindakan politik wali kota yang tidak toleran," imbuh dia.
Pada Oktober 2021, Wali Kota Depok Mohammad Idris ramai dikritik karena mendadak menyegel ulang Masjid Al-Hidayah milik kelompok Ahmadiyah di Sawangan.
Penyegelan tersebut disertai intimidasi, ancaman, serta ujaran-ujaran kebencian dari sekelompok massa yang datang bersama Satpol PP Kota Depok.
Baca juga: KRL Jabodetabek Beroperasi dari Pukul 04.00 hingga Pukul 24.00, Berlaku Mulai 4 April
"Lawan dari pemimpin yang toleran adalah pemimpin yang intoleran, dan itu terjadi di Depok. Kita bisa melihat bagaimana tidak terbukanya kepala daerah Depok terhadap kemajemukan," jelas Ismail.
Ismail menambahkan, dari empat variabel yang ada, elemen masyarakat sipil di Depok menorehkan skor cukup baik, tetapi tak cukup untuk menambal skor buruk dalam hal produk hukum daerah dan kepemimpinan politik.
Akibatnya, Depok dinilai amat terdominasi oleh salah satu agama dalam berbagai ruang-ruang publik, termasuk hingga sektor properti.
"Kalau teman-teman masuk ke Depok, bagaimana dalam 20 tahun berjalan, Depok mengalami satu proses penyeragaman yang serius atas nama agama dan moralitas," ujar Ismail.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.