"Fakta-fakta yang terjadi saat ini kan sanksi atau pertanggungjawaban atasan dari pelanggar tidak pernah tuntas, tidak pernah diselesaikan," papar dia.
Oleh sebab itu, lanjutnya, kasus narkoba yang melibatkan oknum di kepolisian akan terus berulang.
"Karena memang kontrol dan pengawasan itu tidak berjalan dengan baik," imbuh Bambang.
Baca juga: Vonis Teddy Minahasa dan 3 Anak Buahnya, Kompak Lebih Ringan dari Tuntutan
Bambang menilai, kontrol dan pengawasan di institusi Polri sejatinya harus dilakukan berjenjang oleh para atasan. Setiap atasan, misalnya di tingkat Polres, apabila Kepala Satuan Reserse Narkoba terbuki bersalah maka Kapolres harus ikut bertanggungjawab.
"Kalau Kapolda yang bersalah seperti Teddy Minahasa atasannya siapa, begitu. Artinya di Propam sama Irwasum kan tidak berjalan dengan benar sehingga menurunkan sosok sosok seperti Teddy Minahasa," tutur Bambang.
Secara terstruktur dilakukan pengawasan oleh divisi terkait termasuk Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) dan Inspektorat Pengawasan Umum (Irwasum) Polri.
"Kalau ingin berbenah ke depan tidak bisa diserahkan pada institusi Polri saja tetapi perlu political will dari pemerintah untuk membangun sistem kontrol dan pengawasan yang lebih ketat dengan melibatkan pihak-pihak eksternal," jelas Bambang.
Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 disebutkan, Komisi Kepolisian Nasional atau Kompolnas dibentuk untuk mengawasi Polri secara eksternal. Namun, Bambamg menilai keberadaan Kompolnas masih sangat lemah. Sehingga perannya perlu diperkuat.
Baca juga: Berkaca pada Kasus Teddy Minahasa, Polri Harus Perketat Pengawasan Barang Bukti Narkoba
Diberitakan sebelumnya, Teddy Minahasa divonis bersalah dalam kasus peredaran narkoba oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Dalam sidang yang berlangsung pada Selasa (9/5/2023), majelis hakim menjatuhkan hukum penjara seumur hidup terhadap Teddy
Vonis ini lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) yakni hukuman mati.
Jaksa dalam dakwaannya menyatakan, Teddy terbukti bekerja sama dengan AKBP Dody Prawiranegara, Syamsul Ma'arif, dan Linda Pujiastuti (Anita) untuk menawarkan, membeli, menjual, dan menjadi perantara penyebaran narkotika.
Narkotika yang dijual itu merupakan hasil penyelundupan barang sitaan seberat lebih dari 5 kilogram.
Dalam persidangan terungkap bahwa Teddy meminta AKBP Dody mengambil sabu itu lalu menggantinya dengan tawas.
Awalnya, Dody sempat menolak. Namun, pada akhirnya Dody menyanggupi permintaan Teddy.
Dody kemudian memberikan sabu tersebut kepada Linda. Setelah itu, Linda menyerahkan sabu tersebut kepada Kasranto untuk kemudian dijual kepada bandar narkoba.
Total, ada 11 orang yang diduga terlibat dalam peredaran narkoba ini, termasuk Teddy Minahasa.
Sementara itu, 10 orang lainnya adalah Hendra, Aril Firmansyah, Aipda Achmad Darmawan, Mai Siska, Kompol Kasranto, Aiptu Janto Situmorang, Linda Pujiastuti, Syamsul Ma'arif, Muhamad Nasir, dan AKBP Dody Prawiranegara.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.